Epilog Sabar Dan Syukur

Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa dua kualitas esensial dari seorang muslim adalah sabar dan syukur. Sabar bisa diparadigmakan sebagai kesyukuran dalam keadaan susah: mampu menyadari apa yang masih dimiliki dan mengakui dengan kata alhamdulillah. Begitu juga syukur dapat dipandang sebagai kesabaran dalam keadaan senang: mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak tercapai oleh keberhasilan dan bersikap qana’ah. Seorang muslim konsisten dalam keduanya, apapun yang terjadi pada hidupnya.

Al-Quran Surat Yusuf merupakan satu surat unik dimana di dalamnya fokus mengisahkan tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf ‘alayhissalam yang tidak ditemui pada surat-surat lain. Surat tersebut lengkap menceritakan bagaimana ia menempuh titik terendah dalam hidup hingga titik tertingginya.

Pada ekstrim bawah, Nabi Yusuf mengalami kondisi dikhianati (oleh orang dekatnya), diabaikan (terlantar dalam sumur), terasing, hidup sebagai budak (di keluarga pejabat), dicemari nama baiknya (dituduh berbuat serong), bahkan sampai dipenjara. Pada ekstrim atas, beliau berhasil memperoleh jabatan, berkumpul kembali dengan keluarga yang lama terpisah, pun tidak berlebihan jika dikatakan ia mencapai semua standar kesuksesan duniawi (kaya harta, bertahta, rupawan, serta cerdas). Segala perubahan drastis tersebut ternyata tidak mengubah konsistensi karakternya: ia tetap dikenal sebagai orang baik. Testimoni itu diberikan oleh teman sependeritaan di bui, ketika keadaannya terhina, “إِنّا نَراكَ مِنَ المُحسِنينَ” “sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang baik” (QS Yusuf 36). Pengakuan yang serupa diberikan oleh saudaranya (tanpa mengenalinya), saat posisinya berkuasa, “إِنّا نَراكَ مِنَ المُحسِنينَ” “sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang baik” (QS Yusuf 78).

Epilog dari kisah itu disimpulkan dalam do’a: “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian dari kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih” (QS Yusuf 101). Kalimat itu berisi pengakuan akan anugerah Rabb, bahwa kekuasaan dan ilmu itu hanya bagian dari absolut Rabb-nya. Apapun takdir yang dialami merupakan rencana baik dari Allah. Sepanjang perjalanan hidup, hal-hal telah terjadi, ada yang terambil, direnggut atau hilang, tatkala makhluk menjauh dan meninggalkan, namun Sang Khaliq selalu bersama hamba-Nya menjadi tempat bergantung. Tidak ada lagi yang harus diminta selain bertahan sebagai muslim hingga akhir hayat dengan mengikuti jalan kebajikan. Kebajikan di dunia tiada lain adalah ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik, dan amal yang diterima. Kesemuanya itu merupakan jalan bagi kebahagiaan di akhirat.

Ketika merasa situasi hidup menyempit; tengoklah kesulitan yang menimpa Nabi Yusuf. Apakah itu menjadi alasan untuk berhenti menjadi orang baik?! Saat episode hidup cemerlang; tiliklah kesuksesan yang diperoleh Nabi Yusuf. Apakah itu menjadi alasan untuk berhenti berbuat baik?!

Helmholtz-Zentrum Dresden-Rossendorf, 29 Ramadhan 1439H.

Grateful What You Wish For

Jika kita menggali pilar-pilar dalam agama Islam, maka akan ditemukan bahwa salah satu esensinya adalah do’a. Bentuk permohonan tersebut merepresentasikan kepercayaan akan eksistensi Sang Pengabul Permohonan, yaitu Allah. Seorang pen-do’a melandasi harapannya dengan asumsi bahwa Allah memiliki hubungan erat dengan hamba yang meminta-Nya sehingga mengabulkannya. Si pemohon pun yakin bahwa Yang dimohon Mahakuasa atas segala perkara. Latar belakang itulah yang menjadikan do’a sebagai inti penting dari kehidupan seorang hamba.

Dalam Al-Qur’an, dapat ditemukan beberapa peran do’a bagi takdir seseorang. Nabi Ibrahim ketika didakwa hukuman bakar, beliau menyeru “hasbuna Allah wa ni’ma al-wakil”; do’a itu mencegah musibah yang seharusnya secara natural menimpanya “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (Al-Anbiya 69). Nabi Ayyub saat sakitnya, beliau bercurah hati “sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (Al-Anbiya 83); do’a itu mengangkat cobaan yang dideritanya. Nabi Yunus kala celakanya, beliau berucap “tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (Al-Anbiya 87); do’a itu melapangkan kesempitan yang dialaminya. Nabi Zakariya ditengah kesepiannya, beliau mengadu “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik” (Al-Anbiya 89); do’a itu mewujudkan anugrah baginya. Begitulah teladan dari kisah para nabi yang termaktub dalam kitab, untuk menjadi pelajaran dan bimbingan bagi kita.

Pada akhir rangkaian ayat, terdapat isyarat akan kunci pokok bagi pen-do’a: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami” (Al-Anbiya 90).

Maka bersyukurlah atas do’a yang pernah, sedang, dan akan terpanjat; karena dengan syarat dan kondisinya, pasti terjawab. Terkadang kitalah -dengan segala kejahilan dan kealpaan manusiawi- yang kurang menyadari bentuk peran keterlibatannya dalam takdir kehidupan.

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (Ibrahim 34).

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nahl 18).

Referensi:
quran.ksu.edu.sa

*inspirasi dari khuthbah Jum’at di Bath Mosque Al-Muzaffar

Yaa Bunayya

[وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [البقرة: 132

132. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.

Faktor yang menjadikan beliau mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah itu, serta ajaran yang dianutnya beliau teruskan kepada generasi sesudah beliau.
Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus, menyangkut suatu kebaikan.
Nabi Ibrahim as berkata: “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu.” Maksudnya, agama ini adalah tuntutan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, “maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Pesan ini berarti jangan kamu meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya. Kematian tidak dapat diduga datangnya. Jika kamu melepaskan ajaran ini dalam salah satu detik hidupmu, maka jangan sampai pada detik itu kematian datang merenggut nyawamu, sehingga kamu mati tidak dalam keadaan berserah diri. Karena itu, jangan sampai ada saat dalam hidup kamu, yang tidak disertai oleh ajaran ini.
(Tafsir Al-Mishbah)

[وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ [هود: 42

42. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya (2) sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”

Ini adalah gambaran tentang bahtera itu. Mengarungi air dengan kondisi gelombang yang besar laksana gunung. Sebelumnya Nuh Alaihissalam memanggil anaknya yaitu Kan’an, saat itu ia berada jauh dari bahtera karena menolak untuk naik ke atasnya disebabkan kedurhakaan dan kekufurannya (dikatakan juga jauh dari agama bapaknya).
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: durhaka kepada kedua orang tua menyebabkan kehancuran di dunia, sedang di akhirat mendapat azab. Sebuah fenomena kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
(Tafsir Al-Aisar)

[قَالَ يَابُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ [يوسف: 5

5. Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”

yaitu mereka terbawa oleh sifat hasad untuk berbuat makar agar dapat mencelakakanmu, karena mereka menaati setan, yang telah mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga dengan cara menggoda mereka agar memakan buah, padahal Allah Ta’ala melarang untuk memakannya.
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: disyariatkan untuk berhati-hati dan waspada dalam urusan-urusan penting
(Tafsir Al-Aisar)

[وَقَالَ يَابَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ [يوسف: 67

67. Dan Ya’qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”.

janganlah kalian yang berjumlah sebelas orang masuk dari satu pintu gerbang yang akan menimbulkan kecurigaan mata (‘ain) tapi masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, agar jangan terlihat sekelompok orang yang memiliki satu ayah dan supaya kamu tidak terkena fitnah
maka hendaklah orang-orang yang bertawakkal menyerahkan segala urusannya karena Dia-lah Dzat yang memberikan kecukupan dan tidak ada yang memberikan kecukupan kecuali Dia yang Maha Perkasa dan Maha Besar kekuasaan-Nya.
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: Diperbolehkan untuk memperingatkan seorang mukmin terhadap sihir dan mencari jalan untuk dapat menangkalnya, disertai keyakinan bahwa itu tidak akan bermanfaat terhadap Allah Ta’ala sedikitpun dan bahwa segala keputusan ada di tangan-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Wajib bertawakkal kepada Allah Ta’ala dengan terus melakukan perbuatan yang dia inginkan, serta menyerahkan urusan yang akan terjadi kepada Allah Ta’ala.
(Tafsir Al-Aisar)

[يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ [يوسف: 87

87. Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

carilah kabar keduanya dengan keberanian kamu untuk bertanya dan mencari informasi tentang keduanya.
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: Haram berputus asa dari karunia dan rahmat Allah di saat ada musibah.
(Tafsir Al-Aisar)

[وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ [لقمان: 13

13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Kemudian Allah menyebutkan sebagian nasehat dan petuah Luqman kepada putranya. Diawali dengan peringatan agar tidak syirik, dosa paling buruk dan hina,
sebutkanlah kepada kaummu nasehat Luqman Al-Hakim untuk memberi nasehat dan petunjuk kepadanya: Anakku, jadilah kamu orang yang pandai dan janganlah kamu mempersekutukan siapapun dengan Allah, baik manusia, patung atau anak.
syirik itu menjijikkan dan kezhaliman yang fatal, sebab meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Barangsiapa menyamakan antara pencipta dan makhluk, antara Tuhan dan berhala, pasti dia orang yang paling tolol, paling tidak masuk akal, berhak disebut orang zhalim dan layak dimasukkan dalam kategori binatang.
(Shafwatut Tafasir)

[يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ [لقمان: 16

16. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus (2) lagi Maha Mengetahui.

Kemudian pembicaraan kembali kepada wasiat Luqman: anakku, jika kesalahan dan maksiat hanya kecil, meskipun seberat biji sawi, lalu kesalahan itu disamping sangat kecil, berada di tempat paling samar dan paling rahasia, misalnya di dalam batu besar yang halus atau di tempat paling tinggi dari langit atau dari bumi, maka Allah mendatangkannya dan memperhitungkannya. Inti ayat ini adalah membuat gambaran, bahwa tidak ada yang samar bagi Allah di antara amal perbuatan hamba. Allah Mahahalus kepada para hamba dan Mahatahu batin segala sesuatu.
(Shafwatut Tafasir)

[يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [لقمان: 17

17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

jagala shalat pada waktunya lengkap dengan khusyu’nya dan etikanya, perintahkanlah semua kebaikan dan fadhilah kepada manusia, cegahlah mereka dari segala kehinaan dan keburukan, sabarlah atas ujian dan musibah, sebab orang yang mengajak kebaikan menjadi sasaran gangguan. Abu Hayyan berkata: Pertama kali Luqman mencegah anaknya dari syirik, kedua kalinya dia memberi tahu anaknya tentang ilmu Allah dan kekuasaan-Nya yang jelas. Kemudian Luqman menyuruh anaknya untuk melakukan hal yang menjadi batu loncatan untuk menuju ridha Allah, yaitu ibadah. Pertama kali Luqman memerintahkan ibadah paling utama yaitu shalat, lalu amar makruf dan nahi munkar, lalu sabar atas ujian yang diterimanya karena amar makruf, sebab seringkali orang yang amar makruf menjumpai aral melintang. Hal-hal tersebut termasuk yang diwajibkan dan diperintahkan oleh Allah. Ibnu Abbas berkata: Termasuk hakekat iman adalah sabar terhadap hal yang dibenci. Ar-Razi berkata: Yakini hal-hal di atas termasuk hal yang wajib dengan pasti.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong),” janganlah kamu miringkan wajahmu dari mereka karena sombong kepada mereka. Al-Qurthubi berkata: Yakni jangan miringkan pipimu dari orang lain karena congkak, membanggakan dirimu dan menghina mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas, “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh,” janganlah kamu berlagak ketika berjalan disertai takabur. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri,” alasan bagi larangan sebelumnya. Yakni karena Allah benci orang yang sombong dan memandang dirinya besar, lebih baik daripada orang lain, berlagak ketika berjalan dan merendahkan orang lain.
Setelah mencegah pekerti yang tercela, Luqman memerintahkan pekerti yang mulia dan berkata: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan,” pertengahanlah ketika berjalan antara tergesa-gesa dan pelan, “dan lunakkanlah suaramu,” janganlah kamu mengeraskannya, sebab tidak baik dan tidak layak bagi manusia yang berakal. “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai,” suara paling meresahkan adalah suara keledai. Barangsiapa mengeraskan suaranya, maka di menyerupai keledai dan melakukan kemunkaran yang buruk. Al-Hasan berkata: Orang-orang kafir dulu saling membanggakan diri dengan kerasnya suara. Maka Allah menyanggah mereka, bahwa seandainya itu baik, tentu keledai lebih baik daripada mereka. Qatadah berkata: Suara paling buruk adalah suara keledai, awalnya tarikan nafas dan akhirnya mengela nafas.
(Shafwatut Tafasir)

[فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ [الصافات: 102

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibnu Katsir berkata, “Ibrahim memberitahukan hal itu kepada anaknya agar lebih ringan baginya dan untuk melatih kesabarannya dan kekuatannya dalam taat kepada Allah dan ayahnya. Jika anda bertanya: Kenapa Ibrahim meminta pendapat Ismail mengenai perintah Allah yang harus dijalankan? Jawabnya, Ibrahim sebenarnya tidak bermusyawarah untuk mengambil pendapat anaknya. Ini dilakukan agar Ibrahim mengetahui hati anaknya agar lebih kuat dan memantapkannya untuk sabar. Ismail menjawab dengan jawaban terbaik: laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Kelak Ayah akan menjumpai aku sabar insya Allah. Ini jawaban seseorang yang dikarunia kesabaran, santun, menurut perintah dan ridha kepada keputusan Allah.
(Shafwatut Tafasir)

Referensi:

http://qurancomplex.gov.sa/

Jasa titip online berdasarkan ajaran syariah

Perkembangan dunia teknologi yang semakin maju yang diiringi pemenuhan kebutuhan dengan cara yang semakin advance, membuat teknologi dalam jual beli pun ikut berkembang. Jual beli online, titip beli online, e-money, online shopping. Live shopping dan masih banyak sekali istilah-istilah yang muncul pada satu decade terakhir terkait perkembangan teknologi informasi. Kala mungkin sebagian besar masyarakat menengah ke atas memiliki akses yang terbatas atau tidak terbatas pada dunia yang namanya internet yang didukung oleh system ntah itu android, atau windowsphone atau apapun yang juga ikut berkembang sedemikian pesat.

Namun perkembangan ini perlu juga didukung dengan pemahaman syariah yang jelas karena bisa jadi ada unsur-unsur haram yang tanpa disadari ikut terlibat dalam proses jual beli online yang kita lakukan karena Allah sudah dengan sangat jelas menyatakan dalam Al Quran Surat Al Baqarah:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang semua jenis atau semua istilah dalam jual beli onlen. Hanya tentang jasa titip online yang kemarin sempat memenuhi beranda FB saya dan banyaknya kasus yang dilakukan oleh senior, teman seangkatan, dan junior saya dari kampus dulu. Dan bahasan ini adalah berdasarkan satu bagian dalam buku  “Harta Haram Muamalat Kontemporer” yang ditulis oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi. MA, juga hasil diskusi dengan beberapa orang yang punya link langsung ke Ustadz. Continue reading “Jasa titip online berdasarkan ajaran syariah”

Izin Suami dan Kebebasan Wanita Muslimah

Berbicara tentang muslimah, ada banyak sekali rujukan yang terdapat dalam Al Quran dan hadits yang seharusnya menjadi panduan dalam langkah-langkah indah seorang wanita muslimah dalam menjalani setiap aktifitasnya di dunia untuk mendapatkan ridha Allah. Perubahan status ridho Allah yang semula dinisbatkan pada kedua orang tua akan berubah ketika sang muslimah menikah. Ridho suami adalah segalanya bagi seorang wanita dengan status istri. Mengapa itu menjadi sedemikian penting? Mengapa surga nerakanya seorang wanita muslimah kemudian harus ditentukan oleh seorang ikhwan yang kemudian menjadi suaminya? Mari coba simak hadits-hadits berikut.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)

“Aku melihat ke dalam Syurga maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah fuqara’ (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam Neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penghuninya adalah wanita.” (Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim)

“ … dan aku melihat Neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Para sahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Baginda s.a.w menjawab : “Kerana kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Baginda menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) nescaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (Hadis Riwayat Imam Al-Bukhari)

Mengapa seorang istri shalihah dapat memasuki surga dari pintu mana saja seperti disebutkan pada hadits pertama? Melihat pahalanya yang sedemikain besar, bisakah kita lihat bahwa tersimpan fakta yang secara jelas bahwa menjadi seorang  istri shalihah yang status ketaatannya terhadap suami terlihat setara dengan ibadah-ibadah utama sepert shaum, puasa dan menjaga kemaluan.

Namun pada dua hadits berikutnya disebutkan hal yang berkebalikan, bahwa kufurnya seorang istri terhadap suaminya bisa membawanya kepada neraka, yang menjadi penyebab mengapa mayoritas penghuni neraka adalah wanita.

Artinya, menyandang status sebagai istri shalihah memang  tidak gampang dan penuh dengan tantangan. Tapi sekali ridha dari suami diperoleh, berdasarkan hadist-hadits tersebut, maka paling tidak satu syarat masuk surga bisa berhasil dikantongi bukan? Continue reading “Izin Suami dan Kebebasan Wanita Muslimah”

Ghodul Bashar (Menjaga atau Menundukan Pandangan)

“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” …(QS An Nur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya” (QS An Nur: 31)

Menjaga pandangan adalah salah satu bentuk perintah yang Allah berikan kepada para mu’min-orang orang yang beriman yang ditujukan untuk menjaga fitrah para manusia dari dosa dan maksiat yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran dan murka Allah.

Seperti diketahui bahwa pandangan adalah salah satu jendela manusia untuk melihat dunia.. jika tidak dijaga maka bisa saja “yang dilihat pandangan” menjadi sumber maksiat dan dosa. Dalam banyak konteks, menjaga pandangan dikonotasikan ke arah pandangan ke arah lawan jenis karena banyak sekali dosa dan maksiat yang bisa timbul akibat hal tersebut, meskipun sebenarnya konteks pandangan di sini bisa jadi jauh lebih luas daripada itu.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Adapun beberapa hal penting terkait menjaga pandangan ini adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah pernah menjelaskan bahwa pandangan pertama tidak berdosa, yang penting adalah tidak memfollow up pandangan dengan pandangan berikutnya

2. Godhul Bashar sudah ada sejak zaman Rasulullah dan juga kekhailfahan, namun setiap zaman memiliki karakteristik tantangan zaman yang berbeda yang bisa jadi membutuhkan penanganan yang berbeda meskipun berakar pada hal yang sama. Maksudnya adalah tuntunan “menjaga pandangan” tentu ada dalam Al Quran, hanya saja karakteristik zaman yang berbeda akan membuat “aksi” nya berbeda juga. Misalnya tantangan global era teknologi informasi yang menjadikan zaman ini lebih “digital” yang harus diantisipasi dengan cara-cara yang tepat

3. Bentuk pengingatan dari saudara/i dalam bentuk tausiyah, dan ta’awun karena kadang “sendiri” itu butuh effort ekstra. Hal ini juga yang menjadi salah satu keindahan “beramal jama’i”

4. Salah satu strategi menjaga pandangan adalah mengalihkan pandangan, seperti yang pernah dicontohkan oleh Ali Bin Abi Thalib

5. Jika sudah kepalang terjadi, untuk menjaga sensitifitas hati dan menghindari follow up bisikan setan yang lebih dahsyat lainnya, maka bertaubatlah dan perbanyaklah amal shalih supaya tidak terjadi yasna’un (QS Hud 114),

6. Memelihara shalat

7. Ghodhul Bashar itu berat tapi ini jauh lebih ringan dibandigkan dengan dampak yang akan terjadi karena memandang bisa mengakibatkan “tekanan-tekanan jiwa” dan ketidakterjagaannya hawa nafsu

8. Jika mata sudah memandang (konotasi negatif), maka pandangan tersebut akan bisa melemahkan jiwa, mengurangi keberkahan dakwah (karena bercampurnya niat karena Allah dan bukan karena Allah), dan berkurangnya keikhlasan

9. Hikmah menjaga pandangan:
a. Halawatul iman, merasakan kelezatan iman yang dimulai dengan menjaga sahwat mata
b. Karaman dalam jiwa yang mengakibatkan penglihatan menjadi terseleksi hanya karena Allah saja
c. Quwwatun Qalbu (kekuatan hati), menjaga izzah karenna mata yang terbiasa maksiat akan mengurangi izzah manusia tersebut.

Takwa? Mana yang Lebih Utama dan Lebih Sulit, mematuhi Perintah atau Menjauhi Larangan?

Bahasan ini tidak untuk mempertentangkan 2 buah ketetapan yang sejalan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Tidak untuk membawa pikiran-pikiran membandingkan yang ujungnya adalah kesiaan. Hanya sebuah analisis yang sekiranya diharapkan untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan bagi siapapun yang membacanya..

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Ali Imran:102)

Mungkin semua umat muslim di Indonesia sudah sangat familiar dengan istilah takwa karena di sekolah (SD, SMP, atau SMU, bahkan kuliah), kita terbiasa menghafalkan banyak definisi, termasuk di antaranya adalah definisi takwa.

Definisi yang sering didengungkan di banyak text books adalah bahwa takwa itu berarti mematuhi perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Tapi pernahkah kita menelusuri secara lebih mendalam definisi dan makna dari kedua aspek tersebut? Manakan yang lebih utama? Mana yang lebih susah? Perbedaan prinsip atas keduanya? Mana yang Allah lebih sukai? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Jadi, prinsip dasar untuk “mematuhi perintah” adalah “berdasar kemampuan”. Dalam berbagai hadits disebutkan bahwa beribadah menjalankan amalan-amalan kebaikan pada dasarnya adalah sesuai dengan kemampuan kita (Hadits Arba’in No.9). Oleh karena itu, ada yang disebut sebagai level ibadah. Kalau kita bisa melakukan satu jenis ibadah, kemudian kuantitas atau kualitas atau bahkan jenis ibadah itu sendiri bisa ditingkatkan. Misalnya, kita bisa puasa Sunnah sebulan sekali, lalu ada yang bisa puasa senin kamis, ada yang bisa puasa senin-kamis-ayamul bidh, dan ada juga yang bisa puasa daud. Membaca Al Quran pun demikian, ada yang bisa baca hanya sebulan sekali, selembar sehari, sejuz sehari.. semuanya tergantung kemampuan dan kemampuan ini akan tergantung pada seberapa besar keimanan dan semangat kita untuk menjalankan apa yang Allah perintahkan.

Namun yang perlu diperhatikan adalah standar dari perintah ini haruslah berada dalam limitasi “wajib atau fardhu”. Maksudnya, ada batasan fardhu dari ibadah perintah yang dijalankan, yaitu ibadah wajib meliputi shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dan zakat fitrah. Maka selain dari itu sifatnya adalah penambahan sesuai kemampuan.

Sementara itu, basis dari “menjauhi larangan” adalah hawa nafsu, keinginan, dan kebutuhan.”Menjauhi larangan” pada dasarnya mencegah manusia terjerembab pada keinginan dan kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang dilarang Allah atau dengan maksud untuk melatih dan mengendalikan hawa nafsu. Keinginan atau kebutuhan mendasar yang terkait hawa nafsu di sini misalnya adalah syahwat terkait lawan jenis. Puasa adalah contoh ibadah yang berdasar pada prinsip “menjauhi larangan”. Hal ini bukan berarti makan dan minum adalah hal yang dilarang secara general, melainkan dilarang pada waktu tertentu (yaitu pada waktu puasa dijalankan, mulai terbit matahari hingga tenggelam). Puasa menjadi salah satu bentuk ibadah “larangan”yang berfungsi melatih fungsi ”control” secara umum.

Sifat “menjauhi larangan” adalah “no dispensasi”. Misalnya kalo puasa, batal di tengah hari, ya batal puasanya. Sebagai akibatnya harus diganti dengan qadha, atau membayar kifarat. Dan ketika kita jatuh ke dalam larangan terhadap suatu hal, maka hanya taubat yang bisa menjadi obat. Sementara jika kita tidak melalukan suatu ibadah Sunnah, maka hanya kerugian yang menjadi konsekuensi bagi kita, bukan jenis konsekuensi yang berat seperti halnya makan ketika berpuasa atau melakukan maksiat.

Sifat “no dispensasi” ini sebenarnya cukup dimengerti. It makes sense at all, karena pada dasarnya tujuan “menjauhi larangan” adalah tadi, yaitu bersifat melindungi ftrah sejati manusia berupa agama (larangan pindah agama), jiwa (larangan membunuh jiwa tanpa alasan), akal (larangan minum alcohol), keimanan (larangan berzina), dan harta (larangan mencuri) ( Rosdiawan, 2012).

Bahkan dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah bahwa, “ Sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun diatas hikmah dan kemaslahatan para hamba, di dunia dan akhirat. Seluruh syari’at Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.” (Rosdiawan, 2012)

Jika mau menelisik lebih jauh ke dalam konsepsi etimologis, sebenarnya definisi takwa sendiri berdasarkan asal katanya dalam Bahasa arab, kata “taqwa” memiliki kata dasar waqa yang berarti menjaga,melindungi, hati-hati, waspada, memerhatikan, dan menjauhi.

Banyak ahli ulama yang menyatakan bahwa “menjauhi larangan” lebih sulit dijalankan daripada “menjalankan perintah” karena alasan karakteristik “menjauhi larangan” yang lebih menyentuh aspek dasar kebutuhan dan didukung dengan sifat dasar manusia yang “nakal” dan “penasaran”.

Ingat eksperimen psikolog dari universitas Stanford yang mengunci sebuah ruangan yang berisi seorang anak dan marshmallow? Sang anak diberikan woro-woro, bahwa dia tidak boleh memakan marshmallow tersebut apapun yang terjadi. Jika sang anak bisa menghindari memakan marshmallow tersebut maka dia dijanjikan akan diberikan 2 marshmallow setelahnya.http://www.cnn.com/2014/12/22/us/marshmallow-test/

Hasil dari test tersebut memang sudah diduga hehheh… bisa dilihat di video bagaimana sang anak-anak mengontrol ekspresi muka mereka heheh… lucu pisan. Kasus lain terkait “menjauhi larangan” yang juga sangat terkenal dan benar-bener bisa dijadikan pelajaran adalah kisah Nabi Adam dan Hawa atas larangan Allah memakan buah khuldi…

Well, ini hanyalah salah dua dari berbagai contoh riil betapa pengendalian diri adalah hal yang sulit, dan betapa Allah sudah mengakomodasi ini dalam satu part konsep takwa itu sendiri…

Tapi… hal ini tidak berarti kita focus menjauhi larangan saja. Kedua konsep ini harus dilaksanakan secara seimbang. Karena ketika kita bisa menjauhi larangan Allah, kita juga harus bisa menjalankan perintah-perintah yang bersifat Sunnah untuk lebih bisa mendapatkan kecintaan  Allah.. memperbanyak amalan Sunnah dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang akan merusak diri (tentu kalo ibadah Fardhu mah bukan dalam konteks diskusi lagi karena sudah jelas “wajib”nya).

Dari Imam Al Ghazali, bahwa sebenarnya jika kita disibukan dengan aktifitas menjalankan perintah, maka kita akan terlalu sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk melakukan maksiat. Selain itu, pada dasarnya “menjauhi larangan” juga adalah salah satu bentuk “menjalankan perintah”, benar kan?

Dan tulisan ini, saya akhiri dengan pernyataan Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata : ”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan shalat malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan itu adalah mengerjakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah. Aku ingin sekiranya aku tidak mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan zakat dan kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham; melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya satu hari; mengerjakan haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi; akan tetapi kemudian aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”

Continue reading “Takwa? Mana yang Lebih Utama dan Lebih Sulit, mematuhi Perintah atau Menjauhi Larangan?”

Puasa Ramadhan dan Perbaikan Penghasilan

*inspirasi dari berbagai sumber

Puasa Ramadhan dalam Al-Quran dibahas pada Surat Al-Baqarah mulai ayat 183 hingga ayat 187. Dari rangkaian ayat-ayat tersebut, dapat ditarik konklusi bahwa: tujuan puasa adalah taqwa; tujuan Ramadhan ialah untuk memperkenalkan kembali kepada Al-Quran dan membangkitkan apresiasi terhadap Al-Quran. Keseluruhan konstruksi antara puasa dan Ramadhan, fakta bahwa telah didapatkan taqwa, fakta bahwa telah terkoneksi dengan Al-Quran; lalu, dimanakah hal tersebut termanifestasi pertama kali setelah Ramadhan? What’s next?

Al-Quran, sebagai tali Allah yang kepadanya umat berpegang, adalah rajutan ayat-ayat yang serasi. Sistematika urutan ayat ditentukan berdasar petunjuk Allah tentu bukan tanpa alasan. Ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan hidup seorang Muslim. Oleh karena itu, untuk menemukan tindaklanjut puasa Ramadhan, ayat berikutnya (Al-Baqarah 188) menyatakan,

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Diantara poin yang dapat diekstrak antara lain:
– memakan harta dengan cara batil
– menggunakan harta untuk menyuap atau kuasa memanipulasi aturan demi kepentingan pribadi sehingga dapat mengambil bagian/hak orang lain
– korupsi masalah finansial dengan penuh sadar dan pengetahuan

Jelaslah menurut alur Kalamullah, bahwa salah satu hasil taqwa akan muncul pertama kali pada “how we make money”; “the way we earn”; “financial dealing”. Kita boleh saja puasa sebulan penuh, sholat tarawih tiap malam, mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali. Namun jika kembali berbisnis haram, cara-cara curang, penipuan, kebohongan dalam kontrak, penggelapan dana, pelaporan palsu, ketidakadilan upah, penyelewengan tanggung jawab, makan gaji buta, unprofessional, dan sebagainya; dengan demikian, maka kita meraih taqwa yang semu. Kita seringkali mempermasalahkan tentang makanan halalan-thoyyiban; apakah kita juga mempertimbangkan tentang bagaimana untuk memperoleh makanan tersebut? Uang yang digunakan untuk konsumsi pun harus baik.

Perbaiki pendapatan. Itulah salah satu transaksi yang pertama-tama Allah singgung pasca pembicaraan puasa Ramadhan. Karena jika dalam bulan Ramadhan kita dapat menahan diri dari kebutuhan paling mendasar, yaitu makan dan minum, maka selanjutnya bersihkan penghasilan untuk kehidupan yang lebih berkah. Dengan parameternya adalah hukum Allah, ketaqwaan akan berada disana, dan Allah niscaya memberi anugrah.

Raudhotul Mu’minin, 27 Ramadhan 1437H

Pengulangan Redaksi Ayat pada Surat Al-Kafirun

Ibnu katsir dalam tafsirnya membahas bahwa surat Al-Kafirun adalah surat pembebasan diri orang beriman dari perbuatan orang-orang musyrik dan surat yang memerintahkan orang beriman untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang kafir.

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ “Katakanlah, Hai orang-orang kafir” [QS 109:1] itu mencakup seluruh orang-orang kafir Quraisy. Ada yang menyebutkan: karena kebodohan mereka mengajak Rasulullah SAW untuk beribadah kepada berhala mereka selama setahun, sedangkan mereka menyembah Tuhan Muhammad SAW selama setahun pula, maka Allah SWT menurunkan surat ini. Dalam surat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan diri dari agama mereka secara menyeluruh, لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ “Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah,” [QS 109:2] yaitu berupa patung-patung dan berhala-berhala. وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:3] maksudnya yaitu Allah Yang Maha Esa, yang tidak memiliki sekutu. Kata maa (apa) di sini berarti man (siapa). وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٥﴾ “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:4-5] maksudnya, Nabi SAW tidak akan mengikuti sembahan mereka (orang kafir), melainkan akan tetap menyembah Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhai. Oleh karena itu pula Allah berfirman: “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” Maksudnya, orang kafir tidak melaksanakan perintah Allah dan apapun yang telah Allah syari’atkan, yaitu (cara) dalam menyembah Allah. Continue reading “Pengulangan Redaksi Ayat pada Surat Al-Kafirun”

Ihsan dan Itqan dalam Bekerja

Telah dibahas sebelumnya mengenai kedudukan bekerja di dalam pandangan Islam juga nilainya sebagai bentuk ibadah serta ketaatan kepada Allah. Setelah dipahami aspek motivasi yang merupakan penggerak lurusnya amal atau pekerjaan, selanjutkan akan dikaji seputar aspek pelaksanaan pekerjaan. Bagaimanakah Islam menggariskan teknis dalam bekerja? Diantaranya adalah ihsan dan itqan yang dapat disetarakan dengan istilah profesionalisme.
Continue reading “Ihsan dan Itqan dalam Bekerja”