Menampilkan film bertajuk Islam (atau minimal menyajikan setting dan cerita yang memberikan deskripsi Islam) adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Sedikit banyak pemirsa akan menarik image terhadap Islam dari film-film seperti itu. Akan fatal akibatnya jika film berlabel ‘Islami’ tersebut ternyata malah menayangkan hal-hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bisa-bisa orang akan mengira dan menyimpulkan bahwa seperti itulah Islam. Padahal mungkin sebaliknya.
Saya pernah mengetahui bahwa di luar negeri, pembuatan film diawali riset intensif, tidak hanya terhadap pangsa pasar, tapi juga terhadap keabsahan cerita yang akan dibawakan. Hendaknya para penggarap ‘Film Islami’ juga bertindak seperti itu. Kaji secara serius nilai-nilai yang diskenariokan. Diskusikan dengan pakar yang kompeten dari pihak ulama dan/atau cendekiawan muslim. Jangan hanya memanfaatkan label ‘Islam’ untuk mendongkrak rating dan popularitas saja.
Meski sebagian mengaku sudah mengikuti prosedur tersebut, namun kenyataannya saat film digelar tetap saja tampak ‘nyeleneh’. Saya dan rekan-rekan apresiator (mungkin termasuk pembaca disini) kerap mendapati hal itu. Beberapa diantaranya (namun tidak terbatas pada) yang tertangkap adalah:
1. budaya dendam, kekerasan, dan kemunafiqan.
2. khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (campur-baur), sentuh-menyentuh antara bukan mahram (yang belum halal).
3. meminang wanita yang masih berstatus istri orang (secara sindiran saja dilarang, apalagi terang-terangan).
4. wanita menikah tanpa wali, padahal walinya masih hidup dan diketahui.
5. menuduh zina dengan saksi kurang dari empat orang.
6. mengurungkan hukum rajam dengan argumen “hanya yang tidak pernah berdosa sajalah yang boleh melempar.” CMIIW, Saya pernah menyaksikan argumen semacam ini di sebuah film Natal tentang Isa Al-Masih. Ajaran Islam yang dibawa Rasulullah tidak memberlakukan hal itu.
7. eksploitasi kejelekan kehidupan pesantren (sebagai orang yang juga pernah dibesarkan oleh kultur pesantren, terus terang Saya merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu).
Point-point di atas hanya sebagian contoh kecil. Tidak menutup kemungkinan masih banyak penyimpangan-penyimpangan lain. Untuk hematnya dicukupkan segitu. Tidak perlu pula dibahas status hukum film dan/atau bioskop. Itu di luar batas masalah.
Implikasinya beragam dan beresiko, misalnya:
“jadi Islam itu begitu toh.”
“oh, ternyata hal yang kayak gitu boleh kok.”
“itulah cinta yang Islami.”
“cuma dengan begitu aja juga udah Islam.”
“Islam itu melulu soal itu doang.”
Fenomena ini dapat dibawa analogi ke sebuah kisah nyata. Diceritakan ada seseorang non-muslim yang berniat masuk Islam. Akan tetapi terus tertunda karena lambat laun ia ‘trauma’ melihat kelakuan segelintir muslimin di sekitarnya yang tidak mencerminkan nilai serta keteladanan ajaran Islam. Generalisasi yang ia lakukan tidak dapat disalahkan, walaupun jelas tidak bisa dipakai untuk men-judge keseluruhan (tidak bisa menilai hutan hanya dari beberapa pohon saja). Bayangkan apa akibatnya jika ada orang yang menonton film-film berlabel Islam semacam itu kemudian menarik kesimpulan dengan metoda generalisasi. Bisa-bisa yang timbul adalah antipati.
Seorang ulama pernah datang ke Indonesia dan berkomentar, “disini banyak muslim; tapi tidak ada Islam.” Coba mengadopsi, bisa dibilang dewasa ini bertaburan film-film Islam; namun sedikit (kalau tidak mau dibilang ‘tidak ada’) Islam disitu.
Yah, ini sekadar wacana (syukur-syukur jika dianggap sebagai kritik/saran). Jangan sampai film-film Islami yang sedianya -langsung maupun tidak- akan berperan sebagai syiar (menyebarkan Islam beserta ajarannya) malah berbalik menjadi alat pembodohan dan sumber fitnah. Mudah-mudahan tidak semua seperti itu. Dan semoga kedepannya media film dapat benar-benar menjadi sarana dakwah Islam secara hanif.
WAlloh Al-Muwafiq ila Aqwam ATh-Thoriq.
(dan Allah pemberi taufiq ke jalan yang lurus).