Jika perkara ibadah seperti wudhu’, shalat, puasa, dan lainnya memilki rukun-rukun, maka tilawah Al-Qur’an sebagai ibadah pun mempunyai rukun. Ibadah membaca Al-Qur’an bisa dianggap ‘sah’ jika memenuhi rukun-rukunnya. Setidaknya ada tiga hal minimal yang harus dipenuhi dalam amalan Qur’an, yaitu: niat, qira’at, dan tartil.
Tak ayal, setiap ibadah memerlukan niat yang menjadi ruh serta penentu apakah ibadah itu murni sebagai penghambaan ataukah ada kepentingan tersendiri di baliknya. Dengan niat, ibadah sepele bisa bernilai besar; sebaliknya dengan niat pula ibadah yang nampaknya agung bisa bernilai kerdil atau bahkan kosong nilai sama sekali. Membaca kalam Allah seyogyanya juga dijadikan bentuk ketaatan kepada Allah, sebagaimana perintah-Nya memurnikan amal ibadah dalam agama ini untuk-Nya.
Berhati-hatilah dengan peringatan yang diceritakan oleh Rasulullah saw. Salah satu manusia yang pertama-tama di-hisab pada hari akhirat adalah seorang yang dikarunai ilmu Al-Qur’an, kemudian disaksikan bahwa benarnya nikmat itu, lalu ditanyakan tentangnya. Ia mengatakan bahwa ilmu itu karena mengharap Allah dan untuk mengajari manusia. Allah Maha Tau apa yang ada di dalam hati –bahkan yang lebih tersembunyi dari itu– bahwa persaksian itu dusta. Malah sebenarnya ia mempelajari ilmu agar disebut sebagai orang alim/pintar dan ia membaca Al-Qur’an agar dijuluki sebagai qari’. Memang semua titel itu ia dapatkan di dunia. Tapi karena rusaknya niat, maka di akhirat amal itu justru menjerumuskannya ke neraka. Na`udzu billah min dzalik.
Rukun tilawah yang berikutnya adalah qira’at. Artinya bacaan Al-Qur’an itu harus sesuai dengan bacaan yang diajarkan oleh Nabi saw. Bacaan Al-Qur’an adalah sunnah muttaba’ah, yang diikuti, taken for granted, dari Allah kepada malaikat Jibril kepada Rasulullah kepada para shahabat dan seterusnya sampai kepada kita. Bacaan Al-Qur’an bukan dibangun di atas kaidah-kaidah atau buah pikir, namun ia diaplikasikan berdasarkan riwayat. Oleh karena itu, bacaan yang shahih mesti melingkupi tiga syarat, yaitu: sanadnya (intellectual chain) bersambung secara mutawatir, cocok dengan rasm (tulisan) mushaf, serta tidak menyalahi kaidah bahasa arab fasih yang dipraktekkan di zaman nubuwwah ketika diturunkannya Al-Qur’an. Di luar itu, bacaan dihukum tertolak dan tidak boleh diamalkan.
Al-Qur’an adalah mukjizat dari tiap sisinya. Sebagai mukjizat ia melemahkan keunggulan tandingannya. Pada periode diturunkannya al-qur’an, aspek bahasa adalah keluhuran lingkungan saat itu. Maka Al-Qur’an dari sisi bahasa mengalahkan semua jenis kehebatan bahasa yang ada. Dalam pada itu, tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah agar ia difungsikan sebagai pedoman hidup yang di-tadabbur-i. Untuk bisa dipahami, maka maknanya harus lestari. Bacaan yang salah otomatis akan merusak makna sehingga melahirkan tadabbur dan pedoman yang salah pula. Untuk menghindari hal tersebut, maka cara membaca Al-Qur’an wajib baik dan benar sehingga tidak merusak sisi mukjizatnya maupun makna dan tujuannya. Inilah rukun yang ketiga, tartil, membaguskan bacaan sesuai huruf-hurufnya dan mengungkapkan penggalan ayat-ayat dalam arti yang sesungguhnya.
Demikianlah diantara ‘rukun’ tilawah Al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua dalam mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Allahu wa Rasuluhu a’lam.
Lebih dari cukup