Tarbiyah Syakhsiyah 4 – Pengaruh Berinteraksi dengan Al-Qur’an bagi Anak
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang berperan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Begitulah pesan Rasulullah kepada setiap ayah, ibu, dan para pendidik yang beriman kepada Allah sebagai penerima amanah pertama dan utama dalam kehidupan manusia. Gambaran pesan Rasulullah di atas dalam realitanya adalah; seorang anak bagaikan lembaran kain putih bersih yang luas dan tidak bernoda setitik pun. Kain itu bisa dilukis dan diwarnai dengan apa saja yang diiginkan oleh lingkungannya -khususnya lingkungan keluarganya- karena merekalah lingkungan yang terdekat dengan seorang anak. Jika orang tua melukis lembaran kain putih itu dengan lukisan nuansa iman, Islam, Al-Qur’an dan mengikuti Rasulullah, niscaya sang anak tumbuh dengan kehidupan hidayah dan jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahkan kebahagiaan itu juga diberikan kepada orang tua yang telah berperan mengantarkan anaknya menjadi hamba Allah yang mewarnai hidupnya dengan Al-Qur’an.
“Pada hari kiamat kelak, Allah akan memberikan penghargaan kepada setiap ayah dan ibu di hadapan seluruh manusia sejagad, berupa mahkota kemuliaan (taajul karamah) yang sinarnya lebih terang dari sinar matahari. Sampai-sampai setiap orang tua akan terheran-heran. Mengapa kami harus mendapatkan penghargaan sebesar ini padahal kami bukanlah orang yang banyak beramal? Allah menjawab, “Itu karena kalian berdua telah mengajarkan kepada anakmu Al-Qur’an.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan al-Hakim)
Inilah pentingnya peran aktif kita sebagai orang tua, guru dan para pendidik untuk aktif mewarnai anak dengan Al-Qur’an, karena jika bukan kita yang aktif, maka faktor eksternal anaklah yang aktif mewarnainya, seperti televisi dan lainnya. Pengaruh eksternal itu tidak lepas dari pengaruh setan dan budaya yang menjauhkan anak dari akhlak mulia, bahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Lukisan setan dan seluruh stafnya adalah lukisan yang memiliki daya rusak dan daya hancur yang cepat dan efektif. Seperti sarana hiburan elektronik yang hampir-hampir semua tayangannya menghancurkan dan meluluh-lantahkan benih-benih keimanan dan keislaman yang telah diletakkan oleh Allah dalam diri manusia.
Oleh karena itu, menyemai iman di hati anak dengan Al-Qur’an harus integral dan meliputi seluruh bentuk interaksi yang dicontohkan oleh Rasulullah, mulai dari tilawah, tahfidz, tafsir, dan tadabbur. Ulama salaf kita mencontohkan bahwa fokus pembinaan Al-Qur’an pada mereka adalah tilawah dan tahfidz. Al-Qur’an ibarat makanan yang disantap oleh manusia setiap hari, bahkan lebih dari itu. Apa yang kita makan setiap hari disadari atau tidak akan bermanfaat bagi tubuh, apakah sebagai zat yang membangun atau sebagai sumber energi, dan lainnya. Begitulah Al-Qur’an, apa yang dibaca oleh seseorang dengan didasari iman dan cinta kepada Allah pasti akan berproses menjadi cahaya, petunjuk, dan rahmat bahkan terapi bagi manusia yang beriman.
Program suci mengakrabkan Al-Qur’an kepada anak didik harus dengan pandangan keimanan, bukan dengan pandangan keterpaksaan atau tradisi. Karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kitab yang memiliki cakrawala pandangan yang luas seluas samudra yang tidak bertepi. Masa anak-anak adalah masa yang paling tepat mengakrabkan anak dengan nash-nash Al-Qur’an, sehingga menjadi hafalan yang melekat di dalam otak. Ia akan bermanfaat di usia dewasanya kelak, untuk pengembangan ilmu yang diminatinya. Dan kecenderungan potensi menghafal jika tidak diisi oleh Al-Qur’an, maka akan terisi hafalan-hafalan lain yang tidak bermanfaat, bahkan membahayakan anak.
Al-Qur’an yang suci akan cepat menyatu dengan jiwa yang suci yang ada pada diri anak, sehingga menghasilkan keimanan dan keislaman yang ideal. Ia akan menjadi modal besar pada masa dewasanya untuk melaksanakan syariat Allah dengan penuh ketulusan dan kesadaran, sebab dalam dirinya telah tercukupi modal keimanan yang seimbang dengan bobot amal tersebut. Spiritual yang sehat akan membuat anak kita kuat menghadapi tantangan kehidupan yang semakin tahun semakin meningkat dan berat, selanjutnya setiap tantangan kehidupan yang dihadapinya akan diselesaikan dengan solusi yang Rabbani, yakni senantiasa mengembalikan dirinya kepada Allah. Sebaliknya, spiritual yang ringkih akan menjadikan anak tidak tahan menghadapi tekanan hidup pada masa dewasanya sehingga maksiat menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah. Na’udzu billah min dzalik!
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami, seharusnya Al-Qur’an menjadi mata pelajaran unggulan dari mata pelajaran yang lain, karena ia merupakan pondasi segala ilmu yang dipelajari setiap orang. Tentunya dengan metode dan cara pembelajaran yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain. Adalah persepsi salah, yang menyatakan bahwa pelajaran Al-Qur’an hanya terbatas pada anak-anak TK, atau anggapan berat dan sulit. Karena Al-Qur’an bukan diturunkan untuk menjadikan orang yang berinteraksi dengannya merasa tertekan jiwanya atau sengsara. Dengan demikian, Al-Qur’an harus menjadi mata pelajaran yang akrab dengan manusia, sejak masa anak-anak sampai akhir hayat.
Al-Qur’an adalah sumber ilmu yang tiada habis-habisnya. Semoga Allah menjadikan kita dan keluarga sebagai Ahlu Allah (orang-orang yang terdekat dengan Allah) yang kriterianya adalah hidup akrab dengan Al-Qur’an.