*Disarikan dari kuliah Dr. Ayman Rusydi Suwaid di European Institute of Islamic Sciences
Allah mengutus Muhammad saw sebagai nabi umat manusia pada lebih kurang empat belas abad yang lalu beserta turunnya sebuah kitab penutup, yaitu Al-Qur’an. Dan kitab tersebut telah sampai kepada kita tanpa pengurangan sedikitpun. Itulah akidah kita. Namun, apakah keyakinan kita itu memiliki landasan? Sebatas persangkaan dan fanatisme tanpa dalil? Ataukah keyakinan itu berasaskan pemahaman akan kebenaran yang jelas?
Para ulama mendefinisikan Al-Qur’an sebagai “Kalamullah, mukjizat yang diturunkan ke atas hati Nabi Muhammad saw, yang membacanya bernilai ibadah, yang tertulis diantara dua lapis mushaf, dan sampai kepada kita secara mutawatir.” Jika dikatakan “Kalamullah”, maka terkecualikan semua perkataan selain Allah. Al-Qur’an bukanlah perkataan Jibril, dan bukan pula perkataan Muhammad saw, bukan pula perkataan Abu Bakar ra, `Umar ra, dan siapapun di kalangan manusia atau malaikat atau selainnya. “Yang diturunkan ke atas hati Nabi Muhammad saw” memberikan penegasan untuk mengesampingkan kitab-kitab yang diturunkan Allah -yang juga merupakan kalamullah- yang diturunkan kepada selain Muhammad saw, seperti: Taurat yang diturunkan kepada Musa as, dan Injil yang diturunkan kepada Isa as, serta Zabur yang diberikan Allah kepada Dawud as, juga shuhuf yang diberikan Allah kepada Ibrahim as. “Yang membacanya bernilai ibadah” menegasikan hadits qudsi yang diriwayatkan Nabi sebagai perkataan Allah. Maka redaksi hadits qudsi itu (yang maknanya diwahyukan Allah namun lafaznya dari Rasulullah) tidaklah bernilai ibadah dalam membacanya karena redaksi itu bukanlah Al-Qur’an. Adapun Al-Qur’an, lafaz dan maknanya dari Allah. Tentang “Yang ditulis diantara dua lapis mushaf” ini akan diperjelas pada pembahasan berikutnya.
Sesungguhnya para nabi yang diutus oleh Allah adalah manusia layaknya kaumnya. Maka hal yang lumrah muncul dari kaumnya adalah tantangan untuk membuktikan kebenaran bahwa ia benar-benar seorang utusan. Oleh karena itu, Allah mengirim mukjizat bersama setiap nabi sebagai bukti kebenarannya. Semua mukjizat tersebut mengiringi masa kenabiannya kecuali mukjizat Muhammad saw, yakni Al-Qur’an. Al-Qur’an tetap kekal hingga kini bahkan akan terus ada hingga hari kiamat. Jika ada yang berkata bahwa Musa as bisa membelah laut atau mengubah tongkatnya menjadi hidup; dan Isa as bisa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit, barangkali bisa dikatakan juga bahwa semua itu terjadi pada masa lampau dan yang tersisa serta sampai kepada kita sebatas kisahnya saja. Namun apabila ada yang bertanya apakah bukti bahwa Muhammad saw diutus oleh Allah, dengan tegas bisa dikatakan: inilah kitabnya. Tidak dikatakan bahwa empat belas abad yang lalu beliau berbuat ini dan itu; tapi inilah kitab yang membuktikannya, ambil, lihat, dan bacalah. Barangsiapa yang mencari kebenaran, tengoklah mukjizat Muhammad saw ini.
Sebuah berita jika disampaikan oleh seseorang, mungkin saja tidak benar. Bisa jadi orang tersebut berbohong atau mengada-ada atau melupakan aspek-aspek tertentu. Nilainya bergantung kepada kejujuran dan kualitas si pembawa berita. Akan tetapi, jika sebuah berita datang dari sejumlah banyak sumber, kecil kemungkinan mereka semua bersepakat dalam kebohongan. Contoh, mungkin diantara kita ada yang belum pernah pergi ke Beijing atau Tokyo, tapi kita yakin bahwa ada kota bernama Beijing di China atau ada kota bernama Tokyo di Jepang walaupun kita tidak melihatnya langsung. Kenapa yakin? Karena telah sampai berita kepada kita, misal dari sejumah orang tak terhitung yang pernah pergi kesana, dari majalah, televisi, dan sebagainya. Semua itu sepakat bahwa ada kota di dunia yang bernama Beijing dan Tokyo. Dengan demikian, walaupun kita tidak pernah datang kesana, namun kita yakin akan keberadaannya. Itulah yang dimaksud khabar mutawatir, yaitu berita yang datang dari banyak pihak yang mustahil bagi logika bahwa semuanya sepakat dalam dusta. Dengan cara itu pulalah Al-Qur’an sampai kepada kita.
Dari generasi sahabat, Al-Qur’an ditransmisikan ke generasi setelahnya (tabi`in) dengan jumlah personel yang mana mustahil secara logika untuk bersepakat dalam mengubah nash Al-Qur’an. Kemudian tabi`ut tabi`in menerima Al-Qur’an dari tabi`in juga dengan jumlah personel yang mana mustahil secara logika untuk bersama-sama berdusta. Dan seperti itulah terus hingga sampai ke masa kita oleh bagian kaum muslimin yang disebut qurra’. Mereka adalah sekelompok orang yang hadir di antara kita -umat Muhammad saw- yang menghabiskan sebagian umurnya untuk bertalaqqi Al-Qur’an dari generasi sebelumnya, huruf per huruf, dari awal hingga akhir, dengan pengucapan yang shahih dan jelas tanpa ada kesamaran maupun ambigu. Seperti halnya kamera yang menangkap dan mengkopi 100% citra diarahnya, maka begitulah talaqqi Al-Qur’an generasi qurra’ dari guru-guru mereka, huruf per huruf, ba’ menjadi ba’, ta’ ke ta’, jim selalu jim, yang fathah tetap fathah, dhommah kekal dhommah, kasrah pun kasrah, dari sejak hadirnya Rasulullah hingga masa kini.
Itulah para qari’. Dan bukanlah qari’ itu seperti anggapan kebanyakan berupa orang yang bersuara bagus dalam membaca Al-Qur’an, atau yang memperdengarkan bacaan Al-Qur’an di depan umum layaknya konser. Yang dimaksud qari’ disini adalah ulama, seperti fuqoha dan muhadditsin. Sebagaimana muhadditsin menjaga hadits Nabi; fuqoha menjaga hukum syariat Islam; qari’ adalah penjaga nash Al-Qur’an dari perubahan, sedikit atau banyak (selamanya tidak akan ada yang dapat melakukan perubahan semacam itu). Demikianlah maksud definisi Al-Qur’an: “Yang sampai kepada kita secara mutawatir.”
Telah dibahas bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati nabi kita Muhammad saw. Perlu digarisbawahi bahwa Al-Qur’an diturunkan ke dalam hati, dan bukan ke dalam pendengaran. Nabi adalah manusia seperti kita, namun dalam hal menerima wahyu tidaklah seperti kita. Adapun kita talaqqi Al-Qur’an dari guru-guru yang mengucapkan dengan mulut mereka, selagi kita mendengar dengan telinga kita, kemudian kita mengulanginya dengan mulut kita selagi guru mendengar dengan telinganya. Akan tetapi, talaqqi Rasulullah kepada Jibril as tidak seperti itu. Allah berfirman, “Diturunkan oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu agar engkau menjadi pemberi peringatan.” (Asy-Syu`ara’: 193-194) Tidak dikatakan “melalui pendengaranmu”. Allah juga berfirman, “Katakan, barangsiapa yang memusuhi Jibril, maka sesungguhnya dia menurunkan Al-Qur’an ke dalam hatimu dengan izin Allah, yang membenarkan apa yang ada padamu, sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 97). Sedangkan malaikat yang diutus oleh Allah bertalaqqi Al-Qur’an langsung dari Allah.
Turunnya wahyu itu terdiri dari berbagai cara seperti yang dibahas dalam sejumlah riwayat. Ketika Al-Qur’an diturunkan, jalur turunnya di langit dijaga. Allah berfirman dalam surat Al-Jin dengan perkataan Jin, “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Al-Jin: 8-9). Maka dimulailah penjagaan turunnya nash Al-Qur’an dari baitul aziz ke langit dunia pada lailatul qadr. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada lailatul qadr.” (Al-Qadr: 1) Dan pula firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan: 3). Lalu Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad saw dalam jangka dua puluh tiga tahun menyesuaikan dengan kondisi dan keperluan.
Dengan demikian Al-Qur’an mengalami dua macam penurunan: diturunkan dari lauhul mahfuz di baitul `izzah di langit ke-tujuh ke langit dunia, kemudian diturunkan berdasarkan kondisi selama dua puluh tiga tahun. Yang pertama kali diturunkan adalah firman Allah, “Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang menciptakan.” dari surat Al-`Alaq di Juz 30; dan yang terakhir diturunkan adalah firman Allah, “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” dari surat Al-Baqarah (ayat 281). Apakah pernah ada seorang pengarang yang memulai karangan dari bab akhir, lalu bab awal, lalu bab enam, lalu bab dua puluh satu, dan seterusnya?! Penulis biasa (manusia) pastilah menyusun bukunya dengan runtut.
Sesungguhnya Al-Qur’an adalah mukjizat dari setiap halnya, karena ia bukanlah perkataan manusia, melainkan firman Rabb semesta alam. Dan adalah firman Rabb berbeda dengan perkataan manusia dari semua segi.
(bersambung insya Allah)