Sebagaimana telah diketahui bahwa Nabi saw adalah seorang dari bangsa Arab. Bangsa Arab berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Pada zaman Muhammad saw, bangsa Arab terdiri dari banyak kabilah yang sebagiannya menetap di Makkah, Yatsrib (Madinah), sebagian lagi tinggal di kawasan Bani Tamim (sekarang Riyadh), adapula yang berdomisili di pesisir timur jazirah Arab. Kabilah-kabilah tersebut berbicara dengan bahasa Arab. Setelah sebelumnya dibahas dari segi penulisan, di segmen ini akan dibahas tentang Al-Qur’an dari segi lisan.
Nabi saw berasal dari kabilah yang paling terkenal dan mulia di antara bangsa Arab, yaitu kabilah Quraisy. Kabilah Quraisy adalah keturunan dari Ismail bin Ibrahim as. Seluruh bangsa Arab pada zaman Nabi saw memiliki kesamaan dalam berbahasa. Namun, terdapat pula perbedaan dalam beberapa kata. Perbedaan itu dinamai lahjah. Begitulah kondisi yang ada ketika Al-Qur’an diturunkan dan bangsa Arab terdiri dari banyak lahjah dalam bahasanya. Perbedaan lahjah itu terdiri dari tiga hal mendasar.
Pertama, perbedaan cara pengucapan pada suatu kata yang sama. Sebagian Arab mengucaplan (يُؤْمِنُون); yang lain melafalkan (يُومِنُونَ). Kata yang sama namun berbeda dalam cara mengucapkannya. Sebagian lagi mengucapkan (عليهِم); yang lain melafalkan (عليهُم); lain lagi (عليهِمُو). Sama saja itupun kata yang satu dan tidak berubah maknanya, akan tetapi berbeda cara pengucapannya. Sebagian Arab berkata (موسى) dengan fathah; yang lain berkata (موسى) dengan imalah kubra; dan yang lain berkata (موسى) dengan imalah shughra. Semua itu bahasa Arab, namun kabilah ini cara mengucapkannya begitu dalam kesehariannya. Mereka memanggil satu sama lain dengan panggilan (يا موسى) dengan imalah; dan di kabilah lain memanggil (يا موسَى) dengan fathah. Inilah jenis perbedaan lahjah yang pertama.
Kedua, perbedaan makna kata. Suatu kata dikenal oleh kabilah yang satu dan juga kabilah yang lain. Akan tetapi, kabilah yang satu ketika mengucapkan kata tersebut menghendaki suatu arti; sedangkan kabilah yang lain ketika mengucapkan kata yang sama menghendaki arti yang lain. Contoh pada kata (صبأ), yang bagi kabilah Quraisy berarti “penyembah bintang” dan juga bermakna secara umum “keluar dari agama”. Tentang hal ini ada satu kisah, ketika Rasulullah saw mengutus Khalid bin Walid ra bersama sejumlah sahabat kepada suatu kabilah untuk menyelidiki apakah mereka sudah berislam atau tidak. Bagitu Khalid ra sampai dan menemui sejumlah orang dari kabilah, orang-orang dari kabilah itu berkata, “صبَأْنا صبأنا” yang mereka maksud adalah “kami telah keluar dari agama kami dan masuk Islam.” Utusan Rasulullah saw memahaminya dengan makna bahwa orang-orang kabilah itu adalah penyembah bintang. Maka utusan Rasulullah saw berkata, “Kalian akan kami perangi.” Sampai berita itu kepada Nabi saw, kemudian Beliau saw bersabda, “اللهم إني أبرأ إليك ممّا صنَع خالد” Contoh lain pada kata (لمَستُمْ) yang bagi sebagian kabilah bermaksud (لمَستم) dari kata (اللَّمس) yang berarti “menyentuh”; sedangkan bagi kabilah lain bermaksud (الجِماع) yang berarti “berhubungan badan.” Ada pula kata (قُرُوء) yang bagi sebagian kabilah bermakna “masa suci wanita”; dan bagi kabilah lain bermakna “haid”. Itulah juga yang dimaksud lahjah.
Ketiga, adanya kata pada satu lahjah yang tidak ada pada lahjah yang lainnya. Abu Bakar ra pernah ditanya tentang ayat, “وَفَـٰكِهَةً وَأَبًّا” (`Abasa: 31) Kata (أبّاً) tidak ada dalam perbendaharaan kata Quraisy. Abu Bakar ra adalah orang Quraisy sehingga beliau tidak mengetahuinya, dan berkata, “Di bumi mana aku akan berpijak; di langit mana aku akan bernaung, jika aku berkata tentang kitabullah apa yang aku tidak ketahui.” Kemudian tentang kalimat “فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ” Ibnu `Abbas ra berkata, “Aku tidak mengetahui apa maksudnya ‘فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ’ hingga datang dua orang Arab menemui `Umar bin Khaththab ra di tepi sumur kemudian salah satunya berkata, ‘يا أمير المؤمنين: أنا فطَرْتها’ (Wahai Amirul Mukminin, aku yang menggali-membuat- sumur itu)” Maka ‘فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ’ berarti ‘pencipta langit’. Ibnu `Abbas ra adalah orang Quraisy yang dijuluki ‘penerjemah Al-Qur’an’ dan dengan gelar itupun beliau tidak mengetahui arti kata tersebut. Jelas bahwa kata tersebut tidak digunakan dalam bahasa dan lingkungan Quraisy. Al-Qur’an disebut sebagai `Arabiy dan bukan Qurasyiy. Al-Qur’an meliputi bahasa seluruh kabilah atau sebagian besar darinya. Akan tetapi, kata-kata di dalamnya banyak berasal dari lahjah Quraisy karena Qurasyiy dikenal di seluruh kabilah lantaran kebagusan serta letak geografisnya yang strategis.
Kini jika kita mengamati lahjah penduduk Makkah, akan didapati kemiripan dengan bahasa Mesir, Indonesia, India, Turki, Syam, Iraq, dan sebagainya. Hal itu dikarenakan letak geografisnya yang menyebabkan ia didatangi oleh banyak orang dari berbagai penjuru sehingga bahasanya menyebar dan sebagian kata-katanya diserap oleh bangsa lain. Begitu pula pada zaman Rasulullah saw dimana kaumnya saling mengambil lahjah satu sama lain. Allah berfirman, “وَءَاتَتْ كُلَّ وَٰحِدَةٍ مِّنْهُنَّ سِكّينًا” (Yusuf: 31) Kata (سكّين) -berarti pisau- tidak dipakai oleh kabilah Daus. Salah satu sahabat dari kabilah itu adalah Abu Hurairah `Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausiy ra yang satu ketika duduk di majelis, dan Rasulullah saw berkata kepadanya, “أعطني السكّين” (berikan pisau itu padaku) Maka bingunglah Abu Hurairah ra, “ما هذه السكّين ؟” (apa itu السكّين?) Rasulullah saw mengulangi permintaannya, “يا أبا هريرة أعطني السكّين” (wahai Abu Hurairah, berikan pisau itu padaku) Maka Abu Hurairah berkata, “آلمُدْيَة تريد ؟” (آلمُدْيَة yang engkau minta?) Itu karena di kabilah Abu Hurairah ra, pisau (السكين) disebut dengan kata (مُدْيَة). Maka Abu Hurairah ra berkata, “Aku tidak pernah mendengar kata ‘السكين’ sebelum mendengarnya dari Rasulullah saw.”
Begitulah situasi kebahasaan pada masa diturunkannya Al-Qur’an di zaman Rasulullah saw. Tiga hal itu adalah pokok perbedaan di antara lahjah atau dialek mereka. Ambil kasus, jika kita meminta orang dari maghrib (Maroko) untuk berbicara dengan lahjah Mesir, apakah bisa? Atau orang Mesir berbicara dengan lahjah Iraq? Demikian pula pada zaman diturunkannya Al-Qur’an, jika orang yang bisanya berkata (يُؤْمِنُونَ) disuruh untuk berkata (يُومِنُونَ); atau siapa yang biasa berkata (موسى) dengan fathah supaya mengucapkan (موسى) dengan imalah, dan sebaliknya. Tentu saja hal itu sulit.
Datang Jibril as dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan kepada umatmu Al-Qur’an dengan satu huruf.” maksudnya satu cara. Rasulullah saw berkata, “Wahai Jibril, sesungguhnya aku diutus kepada kaum ummiy (buta huruf) yang diantara mereka ada orang tua dan wanita. Maka mintalah keringanan dari Rabbmu.” Jibril as pergi kemudian kembali lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.” Hingga akhirnya Jibril as berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan kepada umatmu Al-Qur’an dengan tujuh huruf, semuanya baik dan mencukupi.” Maka Nabi saw berkata kepada para sahabat, “Bacalah sebagaimana kamu diajarkan.” Oleh karena itu, jika datang sahabat yang membaca dengan imalah, maka Nabi saw membenarkannya; dan jika datang sahabat yang tidak membaca dengan imalah, maka Nabi saw juga membenarkannya. Begitulah karena beliau saw diperintahkan untuk membacakan Al-Qur’an seperti itu. “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf.”
Ingat kembali bahwa Al-Qur’an diturunkan ke dalam hati Nabi saw dan bukan ke pendengaran. Ada beberapa yang berkata, “Begitukah Jibril membaca kali pertama dengan fathah dan kali kedua dengan imalah?” Jawabannya, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw tidak seperti kita bertalaqqi. Al-Qur’an diturunkan ke dalam hatinya yang mulia dengan cara yang dinamai wahyu. Tidak ada yang mengetahui bagaimananya kecuali sang penerimanya sendiri. Perlu kita garisbawahi bahwa semua ilmu diturunkan serta-merta ke dalam hati Nabi saw, berbeda dengan cara talaqqi kita melalui telinga.
Nabi saw diperintahkan untuk membacakan kepada manusia sesuai dengan karakter bahasanya. Hal itu untuk memudahkan umat. Contohnya, jika Nabi saw membacakan kepada salah seorang sahabat “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dan kepada sahabat yang lain membacakan “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dengan imalah pada (أَبْصَـٰرِهِمْ) dan kepada sahabat yang lain lagi membacakan “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dengan imalah di dua kata (أَبْصَـٰرِهِمْ) serta (غِشَـٰوَةٌ), maknanya tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Namun barangkali yang satu sulit untuk melafazkan bacaan yang lain.
Abu Bakar As-Sijistani, seorang ulama besar Al-Qur’an, menceritakan, “Seorang arab badui membaca kepadaku di Masjidil Haram, ‘الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُوا الصَّـٰلِحَـٰتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَـآبٍ’ (Ar-Ra`d: 29) Maka aku berkata -membenarkan- kepadanya ‘طُوبى’ arab badui itu membaca lagi ‘طيبى’ Aku berkata -membenarkan- lagi ‘طُوبى’ kemudian arab badui itu membaca lagi ‘طيبى’ Tidak juga sesuai. Setelah lama seperti itu terus, akhirnya aku berkata kepadanya, ‘طو, طو ,’ Kemudian arab badui itu berkata ‘طي , طي..’ Yakni tak kunjung sesuai, seolah-olah ia berkata, ‘Dialekku tidak bisa diubah.'”
Oleh karena itu, kemudahan Rabbani ini adalah rahmat bagi umat dengan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mampu dipikul. Para sahabat mempelajari Al-Qur’an dari Rasulullah saw mengikut lahjah dan kabilah mereka. Kemudian setelah sempurna, mereka beranjak untuk menyampaikan Al-Qur’an secara lisan. Maka setiap sahabat membacakan kepada generasi setelahnya sebagaimana apa yang dipelajarinya. Misal, bagi yang mempelajari “حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ أُمَّهَاتُكُمُ وَبَنَاتُكُمُ وَأَخَوٰتـُكُمُ وَعَمَّـٰتـُكُمُ” dengan dhommah mim jama`, begitu pulalah menyampaikannya. Sedangkan bagi yang bertalaqqi “حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوٰتـُكُمْ وَعَمَّـٰتـُكُمْ” (An-Nisa: 23) dengan sukun mim jama`, dengan begitu pulalah menyampaikannya.
Dengan cara itulah Al-Qur’an disampaikan kepada tabi`in. Setiap sahabat mengajarkan kepada generasi setelahnya sebagaimana yang ia pelajari. Maka kentaralah perbedaan cara membaca (qiro’at) pada nash al-Qur’an.
(bersambung insya Allah)