Imam Asy-Syathibi memiliki nama lengkap Abul Qasim bin Firruh bin Khalaf bin Ahmad Asy-Syathibi Ar-Ru`ayni. Firruh adalah bahasa lokal yang berarti “besi”; sedangkan Ar-Ru`ayni dinisbatkan kepada satu suku di Yaman. Di dunia ilmu qira’at, dia lebih dikenal dengan sebutan Imam Asy-Syathibi, seorang ulama besar dalam bidang tersebut pada zamannya. Ia dilahirkan di penghujung tahun 538H di kota Syathibah, sebuah kota di Andalusia (region kekuasaan Islam di semenanjung Iberia -Spanyol dan Portugal- pada masa itu).
Pada mulanya dia belajar ilmu qira’at di negeri sendiri pada seorang ulama bernama Abu Abdillah Muhammad bin Abul `As An-Nafzi. Selanjutnya dia pergi ke kota Balansia (Valencia), sebuah kota di dekat kota kelahirannya. Di kota ini, Asy-Syathibi berguru kepada Imam Ibnu Hudzail. Kepada Imam ini dia belajar kitab At-Taysir, karangan Imam Ad-Dani tentang qira’at sab`ah yang telah dihafalkan sebelumnya. Disamping membaca kitab qira’at kepada Imam Hudzail, Asy-Syathibi juga belajar ilmu hadits dan mendapatkan hak meriwayatkan hadits dari Shahih Muslim. Berganti guru, bagi Asy-Syathibi merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupannya dalam upaya mengejar ketinggian ilmu Allah. Tidak mengherankan kalau sederet nama ulama besar menjadi guru Asy-Syathibi. Ia memiliki rasa haus yang tidak pernah puas untuk ilmu, khususnya di bidang ilmu Al-Qur’an. Kebrilianannya melampaui tidak hanya ulama di kotanya, tapi juga ulama pada masanya. Komitmennya untuk mengerahkan segala kemampuan untuk meraih pengetahuan membuat tak terelakkan lagi ia menjadi imam dalam bidangnya selagi usianya masih muda.
Tugas untuk menyampaikan khuthbah pada masa itu disematkan kepada mereka yang memiliki kemampuan dan ilmu yang memadai. Dengan kemapanan ilmu Asy-Syathibi, ia pun diminta untuk menjadi salah satu khatib. Namun, ia tidak menikmati tugas itu lantaran ketika itu khuthbah diperintahkan untuk memiliki bagian isi yang memuji-muji pemimpin di daerah tersebut. Hal ini dianggap tidak patut oleh Imam Syathibi dikarenakan para penguasa saat itu tidak layak diberikan pujian. Oleh karena itu, ia menghindar dari tugas dengan merencanakan kepergian dari Syathibah untuk berhaji ke Mekkah.
Pada 572H, Imam Asy-Syathibi kemudian berangkat dengan tujuan Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanannya, dia sempatkan berhenti di kota Iskandaria (Alexandria) dan berguru pada Imam Abu Thahir As-Silafi, dan lain-lain. Sesampainya di Mesir, Imam Asy-Syathibi disambut hangat oleh Al-Qadhi Al-Fadhil, sebagai penghargaan terhadap kredibilitas keilmuannya. Dia ditempatkan di sebuah madrasah yang telah dibangun di kawasan Mulukhia di kota Kairo. Di madrasah ini ia diangkat menjadi guru besar dalam bidang ilmu qira’at di bagian Madrasah yang memang khusus untuk pengajaran qira’at. Tidak lama, dengan hadirnya Imam Asy-Syathibi yang mengajarkan qira’at, bahasa arab, dan balaghah, madrasah ini mengalami kemajuan pesat. Murid berdatangan dari segala penjuru kota.
Di madrasah inilah Imam Asy-Syathibi merampungkan karyanya Hirzul Amani wa Wajhut Tahani, yang mulai ditulisnya ketika masih di Syathibah. Inilah karya Asy-Syathibi yang paling monumental hingga sekarang yang lazim dikenal dengan nama Nazham Asy-Syathibiyyah. Di sini pula Imam Asy-Syathibi berhasil merampungkan karya-karya lainnya, antara lain `Aqilatu Atrabil Qasaid fi Asnal Maqasid (berbentuk syair mengenai ilmu rasm Utsmani), Nazimatuz Zahr (karya berbentuk syair dalam ilmu `addil ay = hitungan ayat Al-Qur’an), juga ringkasan kitab At-Tamhid (syarah Al-Muwatha) karangan Imam Ibnu Abdil Barr.
Imam Asy-Syathibi dikenal sebagai orang yang cerdas. Dia menguasai banyak cabang ilmu. Di samping ahli dalam ilmu qira’at -cabang ilmu yang paling ditekuninya selama ini- dia juga ahli di bidang bahasa Arab, nahwu dan sastranya serta hafal banyak hadits Nabi. Meskipun -menurut suatu riwayat- dia terlahir dalam keadaan buta, tapi dalam sejarah perjalanan hidupnya, Imam Asy-Syathibi selalu tampil melebihi kebanyakan orang pada umumnya. Dikabarkan pula bahwa Imam Asy-Syathibi tidak buta sejak lahir, namun kebutaan datang pada perioda akhir hidupnya. Al-Qastalani mengatakan, ketika Imam Syathibi menjadi buta, ia menggubah syair:
وقالوا قد عميت فقلت كلا – واني اليوم أبصر من بصير
سواد العين زار سواد قلبي – ليجتمعا على فهم الأمور
Dan mereka berkata “sungguh kau telah buta”, kujawab sekalipun tidak; Dan sungguh sekarang aku melihat lebih daripada orang yang dapat melihat.
Gelapnya mata ini telah mengunjungi relung hatiku; untuk mereka bersatu dalam memahami perkara.
Asy-Syathibi dikenal sebagai seorang yang penuh keikhlasan dan rendah hati. Tentang karyanya ia berkata, “Siapapun yang membaca karyaku, Allah-lah yang akan memberi manfaat darinya, karena sesungguhnya aku menulisnya hanya untuk keridhoan Allah.” Ia juga menuliskan dalam Syathibiyyah,
وناديت اللهم يا خير سامع – أعذني من التسميع قولا ومفعلا
Dan aku menyeru, “Wahai Allah, Wahai Pendengar Yang Paling Baik; lindungilah aku dari sum`ah (rasa ingin didengar) dalam perkataan dan perbuatan.”
Dalam merampungkan bukunya, ia thawaf mengelilingi Ka`bah sebanyak 12.000 kali. Di setiap tempat dimana disyari’atkan untuk berdo’a, ia memanjatkan permohonan kepada Allah,
اللهم فاطر السماوات والأرض ، عالم الغيب والشهادة ، رب هذا البيت ، انفع بها كل من يقرؤها
Wahai Allah Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang tersembunyi dan yang tampak, Rabb rumah ini, berilah manfaat darinya siapa saja yang membaca buku ini.
Ibnu Khalikan menyatakan bahwa Imam Asy-Syathibi adalah orang pertama yang menulis dengan menggunakan metoda kode / simbol untuk qurra’ dan para perawinya. Abu Syammah menyebutkan, qira’at sab`ah menjadi mudah dipelajari berkat kitab Syathibiyyah. Ibnu Jazari berkata kepada siapa yang mempelajari buku tersebut tentu akan menyadari kebrilianan dan keandalan penulisnya. Tidak ada buku qira’at yang bisa sepopuler dipelajari, dibaca dan dihafal seperti Syathibiyyah. Para pelajar ilmu qira’at pasti akan disertai oleh buku ini dimanapun di seluruh dunia. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan salinan Syathibiyyah sebegitunya sampai Ibnu Jazari mengakui bahwa ia memiliki salinan yang ditulis oleh Hujayj, murid dari Sakhawi (murid Asy-Syathibi), dan orang menawar untuk ditimbang dan dibeli dengan perak seberat timbangan buku tersebut, Ibnu Jazari menolak menjualnya.
Imam Asy-Syathibi memiliki daya ingat yang luar biasa. Orang-orang akan datang kepadanya untuk membacakan salinan Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Al-Muwatha milik mereka kepada sang imam. Ia akan menyimak, mengoreksi kesalahan, mendikte kata-kata hadits untuk mereka hanya dengan ingatannya. Jika sampai seperti itu kemampuannya di bidang yang bukan curahan utamanya, bisa dibayangkan bagaimana kemampuannya di bidang keahlian utamanya yang hidupnya didedikasikan padanya, yaitu ilmu qira’at. Kenyataannya, ia menguasai banyak disiplin ilmu serta menghafal buku-buku dari berbagai bidang. Jika ditanya tentang masalah fiqh, ia akan menjelaskan dengan tepat seolah-olah seperti yang tercantum dalam buku fiqh. Orang-orang kagum akan hal ini dan bertanya-tanya apakah Asy-Syathibi juga menghafal buku-buku fiqh. Menjawab itu, Imam Asy-Syathibi hanya menjawab dengan tunduk, “Untuk seorang yang buta sepertiku, tidaklah ada apa-apanya selain Al-Qur’an.” Sebegitu terisinya pikirannya oleh ilmu dan buku yang ia hafalkan seakan-akan tidak ada bagian pikirannya yang tidak diliputi oleh ilmu pengetahuan.
Karakternya dapat diketahui hanya dengan membaca tulisan-tulisan karangannya. Alasan ia meninggalkan Andalusia karena tidak ingin dipaksa memberikan pujian pada penguasa dalam khuthbah Jum`at yang tidak dibenarkan syari’at. Baginya, tentu saja lebih mudah melakukan hal itu, namun ia memilih untuk mengambil langkah yang jauh dan sukar pergi ke Mesir ketimbang melakukan sesuatu yang akan menimbulkan kemarahan Allah. Ia ditimpa kebutaan, kemiskinan, dan banyak kesulitan dalam hidupnya. Akan tetapi setiap kali ia ditanya tentang kondisinya, ia menjawab, “Kebaikan kami ada di tangan Allah.” Kehidupannya sangat sederhana. Seorang Imam yang hampir seluruh hidupnya diabdikan untuk ilmu -terutama ilmu qira’at- ini bersifat zuhud dan tekun dalam ibadah kepada Allah. Dia juga dikenal pendiam, hanya bicara dalam soal-soal penting dan kebenaran, serta mengarahkan orang-orang sekitarnya untuk meninggalkan percakapan sia-sia guna menuju pembahasan tentang ilmu dan Al-Qur’an. Dalam pada itu, ia tidak hanya tinggal diam menghadapi penguasa yang zhalim dan acap bangkit memperingatkan mereka. Ia memilih perintah Allah daripada tingkah dan kemegahan penguasa; lebih takut kepada Allah walaupun dibenci oleh para elit. Asy-Syathibi selalu memberikan respek kepada para ulama pendahulunya serta mengajarkan murid-muridnya untuk menghormati para ulama terdahulu. Basis dari buku Asy-Syathibiyah adalah At-Taysir karya Abu `Amr Ad-Dani, ia kerap menegaskan hal itu dan mengatakan bahwa bukunya merujuk kesana dan tidak boleh diposisikan lebih dari kitab At-Taysir.
Meskipun Imam Asy-Syathibi tidak memiliki banyak kekayaan duniawi untuk diberikan di jalan Allah, ia mengisi waktunya untuk mencari dan menyebarkan serta mengajarkan ilmu yang diperolehnya. Asy-Syathibi memiliki kebiasaan memberikan pelajarannya kepada para muridnya seusai shalat subuh hingga waktu zhuhur. ia selalu dalam keadaan suci (berwudhu) ketika mengajar. Muridnya, Abu Al-Hasan As-Sakhawi, menyebutkan bahwa dalam banyak kesempatan ia melihat Imam Asy-Syathibi mengerjakan shalat zhuhur dengan wudhu yang sama sedari shubuh. Banyak sekali murid yang antri untuk belajar kepadanya. Siapapun diizinkan untuk membaca Al-Qur’an, tidak memandang statusnya. Kalimat yang selalu ia ucapkan ketika akan mengajar adalah, “Barangsiapa datang lebih dahulu, hendaklah dia yang membaca!” Dikatakan bahwa sang imam tidak pernah memperlihatkan raut wajah lelah ketika mengajar.
Imam Asy-Syathibi menetapkan muridnya untuk membaca sebanyak seperempat hizb (seperdelapan juz) dalam satu hari. Ia tidak memperbolehkan muridnya untuk men-jama` qira’at sebelum menyelesaikan tiga putaran untuk setiap riwayat: membaca Riwayat Hafsh, kemudian Syu`bah, lalu diikuti dengan qira’at `Ashim (Hafsh dan Syu`bah digabung bersamaan), setelah itu beranjak ke riwayat berikutnya. Jika tiap riwayat dari seluruh tujuh qira’at sudah rampung, barulah boleh dibaca gabungan semuanya dalam sekali duduk membaca. Ketika murid membaca ayat sajdah, maka sujud sajdah tidak dilakukan. Cara inilah yang diberlakukan gurunya, karena bacaan murid kepada guru berbeda dengan bacaan dalam kondisi lain.
Pernah pada suatu hari ada seorang murid sangat ingin mendapat giliran pertama pada waktu belajar. Setelah dia berhasil datang paling awal dari rekan-rekannya yang lain, ternyata kalimat yang diucapkan Asy-Syathibi tidak seperti biasanya. Ia berkata, “Barangsiapa datang nomor urut kedua, maka hendaklah dia membaca lebih dahulu!” Tentu saja murid yang datang urutan pertama merasa bingung dengan kejadian yang dia alami. Maka dia pun merenung, mengapa sang guru tidak memberinya giliran pertama yang menjadi haknya. Setelah berfikir sejenak, dia pun ingat bahwa pada malam harinya dia telah mengalami jinabat. Karena begitu ingin mendapatkan giliran pertama, maka dia pun lupa untuk mandi jinabat terlebih dahulu. Akhirnya dia pun pergi menuju kamar mandi yang berada di sebelah madrasah. Begitu selesai mandi jinabat, murid nomor urut dua tadi baru usai mengaji. Barulah setelah itu Asy-Syathibi berkata, “Siapa yang datang paling awal, maka hendaklah dia membaca!” Maka dia pun menghadap sang guru untuk membaca Al-Qur’an. Demikianlah kemuliaan dan keutamaan Allah yang diberikan kepada sang imam yang buta, sehingga ia bisa mengetahui kondisi seseorang yang tidak kasad mata. Dengan ketajaman firasat dan kecerdasannya inilah, Imam Asy-Syathibi berjalan penuh kekhusyukan dan kerendahan. Itulah sebabnya, para murid dan karib sahabatnya melihat Imam Asy-Syathibi dengan penuh kekaguman. Dengan jujur mereka menghargainya sebagai orang ulama besar pada zamannya. Abu Syamah Ad-Dimasyqi, seorang ulama segenerasi mengadiahkan dua bait syair untuk Imam Asy-Syathibi, sebagai berikut:
رايت جماعة فضلاء فازوا – برؤية شيخ مصر الشاطبي
وكلهم يعظمه ويثني – كتعظيم الصحابة للنبي
Aku bertemu dengan banyak orang yang mulia; mereka bahagia dapat bertemu Syaikh orang Mesir Asy-Syathibi.
Semuanya memuji dan menyanjungnya; sebagaimana para sahabat menyanjung Nabi.
Pada saat panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Baitul Maqdis, Palestina, Imam Asy-Syathibi sempat berkunjung ke sana, pada tahun 587H. Ia menetap selama sebulan Ramadhan dan melakukan i`tikaf di sana. Setelah itu, ia kembali lagi ke Mesir dan menetap dengan mengajar ilmu qira’at di situ hingga wafatnya, Ahad, selepas asar, 28 Jumadil Akhir 590H pada usia 52 tahun. Ia dikuburkan pada Hari Senin di pemakaman “Al-Qadi Al-Fadil Abdurrahman Al-Baisani”, di daerah Qarafa Ash-Shughra, sebuah tempat di kaki gunung Al-Muqattam, Mesir. Kuburan ini, hingga kini, ramai diziarahi.
Referensi:
1. Abu Abdullah Yaqut Al-Hamawi, Mu`jam Al-Udaba
2. Abu Al-Falah bin Ahmad Al-`Akri, Syadzarat Adz-Dzahab
3. Ahmad bin Muhammad Al-Qastallani, Mukhtashar Al-Fath Al-Mawahibi
4. Ahmad Fathoni, 1996, Kaidah Qira’at Tujuh, Jakarta: Institut Studi Ilmu Al-Qur’an – Darul Ulum Press
5. Ibnu Khalikan, Wafayat Al-A`yan wa Anba’ Al-Zaman
6. Khairuddin Az-Zirikli, Al-A`lam li Asyhar Ar-Rijal wa An-Nisa min Al-`Arab wa Al-Musta`ribin wa Al-Musytasyriqin
7. Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, Syi`ar A`lam An-Nubala
8. Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam
9. Muhammad bin Muhammad Al-Jazari, An-Nasyr fi Al-Qira’at Al-`Asyr
10. Muhammad bin Muhammad Al-Jazari, Ghayah An-Nihayah fi Thabaqat Al-Qurra’
11. Muhammad Saleem Gaibie, Ghunyah Ath-Thalabah fi Taysir As-Sab`ah
12. Wawan Djunaedi, 2008, Sejarah Qira’at Al-Qur’an di Nusantara, Jakarta: Pustaka Stainu