Tarbiyah Syakhsiyah 10 – Membekali Diri dengan Al-Qur’an
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.
Allah menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia sebagai minhajul hayah (pedoman hidup) yang tidak terikat ruang dan waktu. Sesungguhnya kebenaran dan keindahan Al-Qur’an yang telah dinikmati generasi sahabat dan para salafus shalih dapat kita nikmati pula. Kita harus yakin bahwa jaminan kemudahan menikmati Al-Qur’an -diberikan Allah kepada siapapun- tetap berlaku sepanjang zaman.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an itu untuk dipelajari. Adakah manusia yang mau mempelajari. (Al-Qamar [54] : 17, 22, 32, dan 40)
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُهَاجِرٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُرَشِيِّ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الْكِلَابِيَّ يَقُولُا
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيتُهُنَّ بَعْدُ قَالَ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَاوَانِ بَيْنَهُمَا شَرْقٌ أَوْ كَأَنَّهُمَا حِزْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Abdu Rabbih telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim dari Muhammad bin Muhajir dari Al Walid bin Abdurrahman Al Jurasyi dari Jubair bin Nufair ia berkata, saya mendengar An Nawwas bin Sam’an Al Kilabi berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Al Qur`an akan didatangkan pada hari kiamat bersama Ahlinya yang telah beramal dengannya, dan yang pertama kali adalah surat Al Baqarah dan Ali Imran.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tiga permisalan terkait dengan keduanya, aku tidak akan melupakannya setelah itu. yakni: “Seperti dua tumpuk awan hitam yang diantara keduanya terdapat cahaya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya.” (HR Muslim)
Itulah harapan Allah dan Rasul-Nya kepada setiap mukmin. Untuk itu, Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia. Sungguh hidup yang hanya sekali ini akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan untuk mendapatkan ruh dan cahaya dari Al-Qur’an sebagai penghias jiwa kita. Para salafus shalih sering berdo’a, “Ya Allah, hiasilah diri kami dengan Al-qur’an.”
Dengan Al-Qur’an kita harus dapat memberi sibghah (mewarnai diri) menjadi orang yang “harum baunya dan lezat rasanya” seperti buah utrujjah. Dalam arti, keberadaan kita di tengah-tengah keluarga, masyarakat, bahkan seluruh manusia harus dapat menyebarkan semerbak ketakwaan, mujahadah, jihad, dan sabar. Seperti semerbak bunga-bunga yang harum di taman bunga sebagai atsar (pengaruh) Al-Qur’an yang telah memberi sibghah kepada diri kita.
حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الَّذِي لَا يَقْرَأُ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas dari Abu Musa radliyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al Qur’an seperti utrujah, rasanya enak dan baunya wangi, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an seperti kurma, rasanya enak namun tidak berbau, dan perumpaman orang durhaka yang membaca Al Qur’an seperti buah raihana, baunya wangi namun rasanya pahit, dan perumpamaan orang durhaka yang tidak membaca Al Qur’an seperti buah hanzhalah, rasanya pahit dan tidak berbau.” (HR Bukhari)
Bau yang harum menunjukkan bahwa -mereka yang aktif dengan Al-Qur’an- diamnya saja, membawa ketenangan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Adapun rasa yang lezat menunjukkan atsar atau dampak positif yang luas atas aktivitasnya. Dengan demikian, bersama Al-Qur’an semakin besarlah manfaat gerakan dakwah yang akan dirasakan oleh manusia di sekelilingnya. Oleh karena itu, seorang yang menyeru kepada jalan allah seharusnya lebih menuntut dirinya untuk menjadi utrujjah-utrujjah masa kini atau menjadi penerus utrujjah-utrujjah yang telah mendahuluinya (salafus shalih). Generasi salaf adalah contoh nyata manusia-manusia utrujjah yang telah membuktikan diri mereka dengan kesabaran, mujahadah, dan keistiqamahan mereka hidup bersama Al-Qur’an. Maka sudah seharusnya kita pun mampu menjadi penerus mereka dan hidup seperti mereka. Dan tidak satupun dalam hidup ini yang menghalangi kita -kecuali diri kita sendiri- untuk menjadi utrujjah seperti Rasulullah, para sahabat, dan pendahulu kita.
Setelah kita sadar betapa pentingnya Al-Qur’an bagi kehidupan, kedekatan yang kuat kepada Allah akan terbentuk dalam diri kita karena Al-Qur’an akan menumbuhkan quwwatudz dzikir (kekuatan selalu ingat kepada Allah), quwwatul munajat (kekuatan selalu berkomunikasi dengan Allah), dan quwwatu hubb (kekuatan mencintai Allah) dalam diri kita yang kemudian melahirkan hati yang peka dalam menerima taujihat (pengarahan) Allah. Al-Qur’an telah memberi kekuatan spiritual yang luar biasa kepada orang-orang yang jujur kepada Rabb-nya untuk meraih kehidupan yang istimewa di sisi-Nya. Mereka buncahkan kecintaan kepada Allah berupa amal dan sikap hidup mereka dengan memenuhi setiap seruan dalam Kitab-Nya. Segala sesuatu yang dianggap berat sebagian manusia, justru mereka rasakan sangat ringan dan sangat nikmat.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang telah dipancarkan Al-Qur’an ke dalam diri kita? sejauh mana Al-Qur’an telah memberi kekuatan kepada diri kita dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dengan segera, bahkan tidak hanya kesegeraan, tetapi dilaksanakan dengan penuh riang dan gembira dari awal sampai selesai tanpa menunda-nunda? Disinilah pentingnya memahami bahwa hakikat membekali diri dengan Al-Qur’an, adalah jika ayat-ayat yang kita baca selalu digali pesan-pesan di baliknya.
Imam Hasan Al-Bashri pernah mengecam orang yang mejadikan tilawahnya sebagai amalan seolah Al-Qur’an itu cukup dibaca tanpa serius dalam pengamalannya, apalagi menganggap bahwa membaca (melafadzkan kalimat-kalimatnya) sebagai satu-satunya bentuk pengamalan Al-Qur’an. Logikanya, jika pengamalan Al-Qur’an dengan semata-mata tilawah (tanpa menghafal, tadabbur, dan penerapannya dalam kehidupan) saja dicela ulama, apalagi bagi orang yang enggan membacanya? Terlebih lagi, bagaimana jika mereka yang enggan membaca itu adalah orang yang telah menyatakan diri bertekad memperjuangkan Islam?
Untuk itu, pembekalan diri kita dengan Al-Qur’an harus dimulai dari tahapan-tahapan yang benar. Komitmen adab terhadap Al-Qur’an merupakan upaya yang sangat efektif dalam menumbuhkan kesadaran berinteraksi dengan Al-Qur’an dan mampu menghidupkan ruh-ruhnya. Kesadaran itu akan tercapai melalui tahapan-tahapan berikut: Tumbuhkan sedalam-dalamnya keimanan kita kepada Allah. Lakukan semua perintah-Nya sebaik-baiknya, niscaya iman akan tumbuh dalam diri kita. Keimanan yang baik akan mampu merasakan keagungan Al-Qur’an dengan baik. Biasakan diri mentadabburi Al-Qur’an melalui Al-Qur’an terjemahan, kitab tafsir, atau mengikuti kajian tafsir di majelis-majelis ilmu. Berusaha segera melaksanakan segala yang dikehendaki Allah. Sebab, merealisasi satu ayat tidak hanya berdampak bagi peningkatan iman, tetapi berdampak pula pada semakin dalamnya pemahaman kita terhadap isyarat-isyarat Al-Qur’an. Berusaha merasakan bahwa semua khitab (instruksi) Allah adalah khitab untuk diri kita, bukan untuk orang lain. Abdullah bin Mas`ud ra berkata, “Wahai kaum mukminin! Jika Allah menyerumu, konsentrasikan pendengaranmu. Karena di balik itu ada suatu kebaikan yang diperintahkan atau kejahatan yang dilarang.”
Dengan cara-cara seperti inilah, insya Allah setiap ayat yang kita baca, dengar, hafal dan bentuk interaksi apapun akan selalu membekali diri kita, untuk menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini.