(Disadur secara bebas dari Kitab At-Tamhid fi `Ilm At-Tajwid karya Imam Al-Jazari*)
Sesungguhnya diantara hal yang diada-adakan oleh manusia dalam membaca Al-Qur’an adalah suara nyanyian, yang mengenainya Rasulullah saw telah mengabarkan bahwa hal itu kelak akan terjadi dan melarangnya. Disebutkan bahwa bagian Al-Qur’an yang pertama-tama dilagukan adalah Firman-Nya `Azza wa Jalla,
أما السفينة فكانت لمساكين يعملون في البحر
dibaca seirama dengan perkataan penya’ir,
أما القطاة فإني سوف أنعتها … نعتا يوافق عندي بعض ما فيها
Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda**, “Hati mereka tertimpa fitnah, dan begitu juga hati orang yang mengagumi perkara tersebut.”
Dan termasuk bid`ah juga apa yang mereka namakan tarqish, yaitu membaca seolah-olah akan berhenti dengan sukun kemudian serta-merta beranjak membaca harakat dengan hentakan.
Yang lain lagi yang mereka namakan tar`id yaitu membaca dengan menggetarkan suara seperti orang menggigil kedinginan dan kesakitan serta kadang dicampuri nada lagu.
Yang lain lagi dinamakan tathrib, yaitu bertarannum dan berlagu dengan Al-Qur’an sehingga memanjangkan yang tidak seharusnya dan melebihkan kadar mad bukan pada tempatnya. Ini karena hendak mengikuti aturan tathrib yang akibatnya muncul hal-hal yang tidak dibolehkan menurut bahasa `Arab. Praktek seperti ini banyak terjadi di kalangan pembaca Al-Qur’an.
Yang lain lagi dinamakan tahzin, yaitu mengabaikan tabiat dan naturalitasnya dalam tilawah sehingga muncul tilawah dengan cara berbeda seolah-olah sedih membuat-buat supaya menangis disertai tunduk dan khusyu`. Ini tidak dikehendaki oleh para syaikh karena di dalamnya ada unsur riya’.
Yang lain lagi mereka ada-adakan berupa bacaan serentak satu suara sehingga mereka baca misalnya Firman Allah “أفلا يعقلون” atau “أو لا يعلمون” dengan “أفل يعقلون” atau “أول يعلمون” menghilangkan alif. Atau seperti misalnya menghilangkan waw, mereka baca “قال’ آمنا”. Atau menghilangkan ya’, mereka baca “يوم الدن” pada yang seharusnya “يوم الدين”. Dan juga memanjangkan pada yang tidak ada mad dan membaca harakat pada sukun yang tidak boleh di-harakat-kan. Hal ini semata-mata untuk memenuhi cara baca yang mereka tempuh (serentak berjama`ah). Sebutan lain dari cara tersebut adalah at-tahrif.
Adapun qiro’at yang kami baca dan ambil dengannya adalah bacaan yang mudah, tartil, tawar lafaznya, yang tidak keluar dari tabiat `Arab dan perkataan fasih, pada wajah dari sekian wajah qiro’at. Kami membaca dari masing-masing imam dengan cara sesuai apa yang kami terima dari mereka, dengan mad atau qashr, hamzah atau takhfif hamzah, tasydid atau takhfif, imalah atau fath, isyba` dan sebagainya.
*Masa hidup Imam Al-Jazari 751H-833H, ternyata masalah ini masih relevan di masa kini
**HR Thabrani dalam Mu`jam Al-Awsath, Baihaqi dalam Syu`abul Iman
asm
Benar ini sangat relevan dimasjid saya ada seorang yang biasa jadi imam,
hanya karena pernah di pesantren. entah mengapa ybs sudah sering di kritik
cara bacaan disat sholat, menggunakan tembang sunda. sangat mengganggu
bacaan panjang pendeknya…
saya sd meminta ketua masjid agar tidak menunjuk ybs menjadi imam dsaat
sholat, tetapi entah mengapa tetap saja beliau maju sebagai imam. saya sdh
pernah menegurnya secara langsung maupun tidak langsung, sdh banyak juga
yang menyampaikannya. tapi kebanyakan jamaah tidak memahami bahayanya.
sehingga selalu beliau bisa menjadi imam disaat saat tertentu.