Ibnu katsir dalam tafsirnya membahas bahwa surat Al-Kafirun adalah surat pembebasan diri orang beriman dari perbuatan orang-orang musyrik dan surat yang memerintahkan orang beriman untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang kafir.
قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ “Katakanlah, Hai orang-orang kafir” [QS 109:1] itu mencakup seluruh orang-orang kafir Quraisy. Ada yang menyebutkan: karena kebodohan mereka mengajak Rasulullah SAW untuk beribadah kepada berhala mereka selama setahun, sedangkan mereka menyembah Tuhan Muhammad SAW selama setahun pula, maka Allah SWT menurunkan surat ini. Dalam surat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan diri dari agama mereka secara menyeluruh, لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ “Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah,” [QS 109:2] yaitu berupa patung-patung dan berhala-berhala. وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:3] maksudnya yaitu Allah Yang Maha Esa, yang tidak memiliki sekutu. Kata maa (apa) di sini berarti man (siapa). وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٥﴾ “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:4-5] maksudnya, Nabi SAW tidak akan mengikuti sembahan mereka (orang kafir), melainkan akan tetap menyembah Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhai. Oleh karena itu pula Allah berfirman: “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” Maksudnya, orang kafir tidak melaksanakan perintah Allah dan apapun yang telah Allah syari’atkan, yaitu (cara) dalam menyembah Allah.
Kalimat Islam adalah, “tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Maksudnya, tidak ada yang disembah selain Allah dan tidak ada cara untuk menyembah Allah selain dari apa yang telah dijelaskan Rasul Allah. Sedangkan orang-orang musyrik menyembah kepada selain Allah dengan cara yang tidak Allah izinkan. Oleh karena itu Rasulullah SAW berkata kepada mereka, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” [QS 109:6]
Ibnu Jarir, dalam Jami’ Al-Bayan, menukilkan dari sebagian ahli bahasa arab bahwa ungkapan yang sama pada surat ini termasuk dalam ungkapan untuk menguatkan atau menekankan sesuatu. Ulama lainnya berkata pula: maksudnya, aku (Muhammad) tidak akan menyembah apa yang kalian sembah saat ini dan aku tidak akan memenuhi permintaan kalian untuk menyembah apa yang kalian sembah pada sisa umurku ini. Kalian bukanlah penyembah apa yang aku sembah.
Oleh karena itu, dalam hal pengulangan ini ada tiga pendapat:
1) Sebagai penekanan atau untuk menguatkan.
2) Pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan yang lain dari para ahli tafsir, bahwa maksud لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٣﴾ “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:2-3] yaitu pada saat terdahulu. وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٥﴾ “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah yang aku sembah” [QS 109:4-5] yaitu pada saat yang akan datang.
3) Maksud لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah” [QS 109:2] adalah tidak melakukan perbuatan itu; sedangkan وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ “Dan aku tidak pernah penyembah apa yang kamu sembah” [QS 109:4] maksudnya adalah tidak menerima perbuatan tersebut secara keseluruhan. Jadi, maksudnya adalah tidak melakukan perbuatan itu dan tidak ada kemungkinan (mustahil) untuk melakukan hal itu.
Dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, As-Suyuthi memaparkan mengenai ijaz dan ithnab yang merupakan bagian ilmu balaghah yang agung. Ijaz ialah penyampaian suatu maksud dengan kata-kata lebih sedikit (atau tanpa tambahan) daripada yang dikenal oleh kebanyakan orang; sedangkan ithnab yaitu penyampaian dengan kata-kata yang lebih banyak, karena kondisinya lebih cocok untuk diperluas.
Diantara bentuk ithnab adalah berupa pengulangan, faidahnya adalah:
– Untuk memberikan ketetapan. Sesungguhnya suatu perkataan jika diulangi maka telah tetap maknanya. Allah telah memberikan peringatan terhadap sebab adanya pengulangan beberapa kisah dan ancaman di dalam Al-Qur’an, “Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa, atau agar Al-Qur’an itu memberi pengajaran bagi mereka.” [QS 20:113]
– Untuk menegaskan.
– Untuk memberikan tambahan perhatian terhadap hal-hal yang mungkin menimbulkan keraguan, agar pembicaraan itu lebih sempurna untuk dapat diterima.
– Jika suatu pembicaraan itu panjang dan pembicaraan yang pertama khawatir dilupakan maka diulangi lagi untuk memperbaharuinya.
– Untuk mengagungkan dan memperingatkan.
– Karena adanya pemisah di antara dua kalimat yang diulangi. Sesungguhnya penegasan itu tidak boleh dipisahkan dengan yang ditegaskan. Karena banyaknya hubungan kalimatnya (ta’alluq), yaitu jika sesuatu yang diulangi untuk kedua kalinya, ta’alluq-nya berbeda dengan yang pertama. Pada Surat Ar-Rahman, ayat فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ [QS 55:13] diulang lebih dari tiga puluh kali, masing-masing darinya berhubungan dengan ayat sebelumnya. Masing-masing memiliki makna yang tidak terdapat pada ayat yang lainnya.
Bentuk pengulangan yang banyak ditemui dalam Al-Qur’an adalah pada kisah-kisah. Pengulangan kisah-kisah itu mempunyai beberapa faidah:
– Di setiap tempat ada tambahan sesuatu yang tidak disebutkan pada tempat sebelumnya atau penggantian suatu kata dengan kata yang lainnya karena adanya suatu rahasia tertentu. Inilah kebiasaan orang-orang yang fasih.
– Pengulangan itu menjadi bermanfaat bagi suatu kaum dan sebagai penegas bagi kaum lainnya.
– Pengungkapan suatu perkataan dengan berbagai macam gaya bahasa dan uslub yang berbeda-beda tidak diragukan lagi kefasihannya.
– Ketika kisah itu diulangi maka ada di antara kata-katanya di setiap tempatnya yang berkurang atau bertambah di setiap tempat, yang didahulukan atau diakhirkan, dan uslubnya berbeda dengan uslub yang pertama. Hal ini mendatangkan sesuatu yang menarik dalam mengungkapkan sebuah makna dengan berbagai bentuk yang berbeda susunannya dan menarik jiwa untuk mendengarkan karena tabiatnya yang gemar berganti-ganti dengan sesuatu yang baru. Dengan ini pula dapat terasa nikmat dan tampaklah ciri khas Al-Qur’an, yang walaupun kisah-kisahnya diulang-ulang, tetapi tidak membuat kata-katanya usang dan membosankan ketika didengar. Karena itulah, ia berbeda dengan pembicaraan para makhluk.
Di antara contoh-contoh ayat yang disangka terjadi pengulangan, padahal dia bukan termasuk diantaranya (bukan pengulangan bermakna serupa) adalah ayat-ayat pada Surat Al-Kafirun. Sesungguhnya ayat yang kedua untuk menafikan pada masa mendatang dan (ayat ketiga:) “kamu bukan penyembah” pada masa sekarang, “tuhan yang aku sembah” pada masa mendatang; dan (ayat keempat:) “aku tidak pernah menjadi penyembah” pada masa sekarang, “apa yang kamu sembah” pada masa dahulu; (ayat kelima:) “Kamu tidak pernah pula menyembah” pada masa mendatang, “apa yang aku sembah” sekarang. Jadi, kesimpulannya adalah untuk menafikan penyembahan itu pada ketiga masa (yang lalu, sekarang, dan akan datang).
WAllahu a`lam.