Bahasan ini tidak untuk mempertentangkan 2 buah ketetapan yang sejalan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Tidak untuk membawa pikiran-pikiran membandingkan yang ujungnya adalah kesiaan. Hanya sebuah analisis yang sekiranya diharapkan untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan bagi siapapun yang membacanya..
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Ali Imran:102)
Mungkin semua umat muslim di Indonesia sudah sangat familiar dengan istilah takwa karena di sekolah (SD, SMP, atau SMU, bahkan kuliah), kita terbiasa menghafalkan banyak definisi, termasuk di antaranya adalah definisi takwa.
Definisi yang sering didengungkan di banyak text books adalah bahwa takwa itu berarti mematuhi perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Tapi pernahkah kita menelusuri secara lebih mendalam definisi dan makna dari kedua aspek tersebut? Manakan yang lebih utama? Mana yang lebih susah? Perbedaan prinsip atas keduanya? Mana yang Allah lebih sukai? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Jadi, prinsip dasar untuk “mematuhi perintah” adalah “berdasar kemampuan”. Dalam berbagai hadits disebutkan bahwa beribadah menjalankan amalan-amalan kebaikan pada dasarnya adalah sesuai dengan kemampuan kita (Hadits Arba’in No.9). Oleh karena itu, ada yang disebut sebagai level ibadah. Kalau kita bisa melakukan satu jenis ibadah, kemudian kuantitas atau kualitas atau bahkan jenis ibadah itu sendiri bisa ditingkatkan. Misalnya, kita bisa puasa Sunnah sebulan sekali, lalu ada yang bisa puasa senin kamis, ada yang bisa puasa senin-kamis-ayamul bidh, dan ada juga yang bisa puasa daud. Membaca Al Quran pun demikian, ada yang bisa baca hanya sebulan sekali, selembar sehari, sejuz sehari.. semuanya tergantung kemampuan dan kemampuan ini akan tergantung pada seberapa besar keimanan dan semangat kita untuk menjalankan apa yang Allah perintahkan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah standar dari perintah ini haruslah berada dalam limitasi “wajib atau fardhu”. Maksudnya, ada batasan fardhu dari ibadah perintah yang dijalankan, yaitu ibadah wajib meliputi shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dan zakat fitrah. Maka selain dari itu sifatnya adalah penambahan sesuai kemampuan.
Sementara itu, basis dari “menjauhi larangan” adalah hawa nafsu, keinginan, dan kebutuhan.”Menjauhi larangan” pada dasarnya mencegah manusia terjerembab pada keinginan dan kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang dilarang Allah atau dengan maksud untuk melatih dan mengendalikan hawa nafsu. Keinginan atau kebutuhan mendasar yang terkait hawa nafsu di sini misalnya adalah syahwat terkait lawan jenis. Puasa adalah contoh ibadah yang berdasar pada prinsip “menjauhi larangan”. Hal ini bukan berarti makan dan minum adalah hal yang dilarang secara general, melainkan dilarang pada waktu tertentu (yaitu pada waktu puasa dijalankan, mulai terbit matahari hingga tenggelam). Puasa menjadi salah satu bentuk ibadah “larangan”yang berfungsi melatih fungsi ”control” secara umum.
Sifat “menjauhi larangan” adalah “no dispensasi”. Misalnya kalo puasa, batal di tengah hari, ya batal puasanya. Sebagai akibatnya harus diganti dengan qadha, atau membayar kifarat. Dan ketika kita jatuh ke dalam larangan terhadap suatu hal, maka hanya taubat yang bisa menjadi obat. Sementara jika kita tidak melalukan suatu ibadah Sunnah, maka hanya kerugian yang menjadi konsekuensi bagi kita, bukan jenis konsekuensi yang berat seperti halnya makan ketika berpuasa atau melakukan maksiat.
Sifat “no dispensasi” ini sebenarnya cukup dimengerti. It makes sense at all, karena pada dasarnya tujuan “menjauhi larangan” adalah tadi, yaitu bersifat melindungi ftrah sejati manusia berupa agama (larangan pindah agama), jiwa (larangan membunuh jiwa tanpa alasan), akal (larangan minum alcohol), keimanan (larangan berzina), dan harta (larangan mencuri) ( Rosdiawan, 2012).
Bahkan dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah bahwa, “ Sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun diatas hikmah dan kemaslahatan para hamba, di dunia dan akhirat. Seluruh syari’at Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.” (Rosdiawan, 2012)
Jika mau menelisik lebih jauh ke dalam konsepsi etimologis, sebenarnya definisi takwa sendiri berdasarkan asal katanya dalam Bahasa arab, kata “taqwa” memiliki kata dasar waqa yang berarti menjaga,melindungi, hati-hati, waspada, memerhatikan, dan menjauhi.
Banyak ahli ulama yang menyatakan bahwa “menjauhi larangan” lebih sulit dijalankan daripada “menjalankan perintah” karena alasan karakteristik “menjauhi larangan” yang lebih menyentuh aspek dasar kebutuhan dan didukung dengan sifat dasar manusia yang “nakal” dan “penasaran”.
Ingat eksperimen psikolog dari universitas Stanford yang mengunci sebuah ruangan yang berisi seorang anak dan marshmallow? Sang anak diberikan woro-woro, bahwa dia tidak boleh memakan marshmallow tersebut apapun yang terjadi. Jika sang anak bisa menghindari memakan marshmallow tersebut maka dia dijanjikan akan diberikan 2 marshmallow setelahnya.http://www.cnn.com/2014/12/22/us/marshmallow-test/
Hasil dari test tersebut memang sudah diduga hehheh… bisa dilihat di video bagaimana sang anak-anak mengontrol ekspresi muka mereka heheh… lucu pisan. Kasus lain terkait “menjauhi larangan” yang juga sangat terkenal dan benar-bener bisa dijadikan pelajaran adalah kisah Nabi Adam dan Hawa atas larangan Allah memakan buah khuldi…
Well, ini hanyalah salah dua dari berbagai contoh riil betapa pengendalian diri adalah hal yang sulit, dan betapa Allah sudah mengakomodasi ini dalam satu part konsep takwa itu sendiri…
Tapi… hal ini tidak berarti kita focus menjauhi larangan saja. Kedua konsep ini harus dilaksanakan secara seimbang. Karena ketika kita bisa menjauhi larangan Allah, kita juga harus bisa menjalankan perintah-perintah yang bersifat Sunnah untuk lebih bisa mendapatkan kecintaan Allah.. memperbanyak amalan Sunnah dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang akan merusak diri (tentu kalo ibadah Fardhu mah bukan dalam konteks diskusi lagi karena sudah jelas “wajib”nya).
Dari Imam Al Ghazali, bahwa sebenarnya jika kita disibukan dengan aktifitas menjalankan perintah, maka kita akan terlalu sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk melakukan maksiat. Selain itu, pada dasarnya “menjauhi larangan” juga adalah salah satu bentuk “menjalankan perintah”, benar kan?
Dan tulisan ini, saya akhiri dengan pernyataan Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata : ”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan shalat malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan itu adalah mengerjakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah. Aku ingin sekiranya aku tidak mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan zakat dan kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham; melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya satu hari; mengerjakan haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi; akan tetapi kemudian aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”