Kalau saya membuat buku lalu mengatakan bahwa buku tersebut sudah mengalahkan kemukjizatan al Qur’an apakah anda akan setuju? Setuju tidak setuju saya akan bertanya apa standar yang anda gunakan? Kita sudah mengetahui bahwa al Qur’an itu mukjizat. Buktinya tidak ada yang berhasil memenuhi tantangan al Qur’an untuk membuat yang semisalnya. Hanya saja pertanyaanya bagian mana sih yang membuat al Qur’an tidak berhasil ditiru.
Bagian ini adalah bagian terakhir sekaligus paling berat dari seri kitab suci. Berat karena saya tidak menjalani pendidikan agama Islam secara formal khususnya mengenai bahasa arab dan ulumul Qur’an. Selain itu, menulis bagian ini seperti mengkompres buku Mukjizat al Qur’an-nya Quraish Shihab, buku yang cukup komprehensif mengenai mukjizat al Qur’an, menjadi satu artikel saja.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai sisi-sisi kemukjizatan al Qur’an ada baiknya diketahui sebenarnya apa itu mukjizat. Sebab sering kali banyak kejadian luar biasa yang kita sebut sebagai mukjizat. Padahal tidak tepat. Mukjizat adalah sebuah istilah yang memiliki makna khusus. Muhammad Ali Ash Shabuni dalam At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, sebagaimana dikutip oleh Sigit Purnawan Jati pada makalah berjudul Kemukjizatan Al Qur’an, menyatakan bahwa sesuatu baru disebut mukjizat bila memenuhi 5 (lima) syarat berikut:
1. Mukjizat itu berupa sesuatu yang tidak akan mampu didatangkan kecuali oleh Allah SWT.
2. Mukjizat itu berupa sesuatu di luar kebiasaan dan menyalahi hukum alam.
3. Mukjizat itu muncul dari orang yang mengaku sebagai nabi.
4. Adanya tantangan kepada orang yang mengingkari pengakuan suatu kenabian untuk mendatangkan perkara yang semisal dengan mukjizat itu.
5. Tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan perkara semisal mukjizat itu
Secara umum mukjizat al Qur’an dibagi menjadi dua. Pertama sisi kebahasaan al Qur’an dan kedua sisi kandungan al Qur’an. Sisi kebahasaan al Qur’an disepakati oleh semua ulama sebagai mukjizat al Qur’an walau berbeda pada rinciannya. Sedangkan sisi kandungan al Qur’an masih menjadi perdebatan.
Sisi kebahasaan
Kemukjizatan sisi bahasa sudah dirasakan semenjak al Qur’an lahir. Bila ditilik dengan teliti inilah yang menyebabkan para sahabat masuk Islam. Rata-rata mereka masuk Islam setelah mendengarkan al Qur’an dibacakan. Kita bisa ingat kisah Umar bin Khatab yang mendengar surat Thaha yang dialunkan dari dalam rumah adiknya. Bahkan musuh Rasulullah sampai tiga malam berturut2 mengendap-endap untuk mendengarkan al Qur’an.
Walid bin Mughirah, seorang pentolan kaum musyrik Quraish saat itu, telah mengakui kemukjizatan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya saya telah mengenal seluruh sya’ir, melagukan, menyanyikan, menyairkan, menggenggam dan membelenggunya (menguasainya). Tapi al Qur’an itu bukanlah sya’ir”. Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya saya telah melihat tukang sihir dan berbagai bentuk sihir mereka. Tapi al Qur’an itu bukanlah seperti apa-apa yang ada dibisik-bisikkan oleh lidah tukang sihir itu dan juga bukanlah seperti apa yang mereka komat-kamitkan, demi Allah, sesungguhnya perkataan Muhammad sungguh manis. Akarnya merupakan kesejukan yang melimpah meruah, sedangkan cabangnya adalah bebuahan yang rindang”.
Kemampuan saya untuk mengungkapkan sisi kebahasaan al Qur’an sangat terbatas sehingga saya tidak bisa mengemasnya dengan lebih baik. Hal ini punya yang menyebabkan penulisan bagian ini selalu tertunda. Namun sebagai pengetahuan sisi kebahasaan al Qur’an saya salin dari makalah Sigit Purnawan Jati yang meringkasnya dari kitab Kepribadian Islam Jilid I karya Taqiyuddin An Nabhani.
Pertama, pilihan lafazh-lafazh dan susunan kata (tarkib). Al Qur’an telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata yang amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut. Makna yang kasar, diungkapkan dengan lafazh yang kasar, dan seterusnya. Ayat yang menggunakan lafazh lembut untuk mengungkapkan makna yang lembut, misalnya:
“Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil” (Al Insaan : 17 -18 )
Bandingkan dengan ayat yang menggunakan lafazh kasar untuk mengungkapkan makna kasar berikut :
“Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (An Naba’ : 21 – 22)
Kedua, Irama kata (nagham) yang digunakan. Susunan huruf-huruf dan kata-kata dalam Al Qur’an tersusun dalam irama khas yang unik, tidak dapat dijumpai dalam pembicaraan manusia, baik dalam sya’ir maupun dalam kalimat yang bersajak (natsar). Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah SWT :
“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya telah mulai menyingsing.” (At Takwiir : 15 – 18)
Ayat di atas menyebutkan huruf “sin” secara berulang-ulang, yang ternyata sangat sesuai dengan makna yang hendak diungkapkan, yaitu keheningan malam dan menyingsingnya fajar. Juga ayat Kursy, misalnya, yang di dalamnya terdapat pengulangan huruf “lam” sebanyak 23 kali, dimaksudkan untuk merangsang pendengaran, sehingga dapat lebih menggugah seseorang untuk menyimak makna ayat dengan penuh perhatian.
Ketiga, kemampuan pilihan lafazh dan susunan kata dalam melingkupi makna yang beraneka ragam dan menyeluruh. Al Qur’an telah memberikan makna yang panjang lebar/mendalam dengan menggunakan lafazh yang ringkas. Misalnya, firman Allah SWT :
“Dan di dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.” (TQS. Al Baqarah : 179)
Penggalan dari ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit. Tetapi bila diuraikan, maknanya akan panjang lebar. Makna ayat tersebut ialah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau dia membunuh akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya untuk melakukan pembunuhan. Jadi, dengan qishash itu, akan lenyaplah kejahatan saling membunuh di tengah masyarakat. Dan dengan tiadanya pembunuhan, berarti akan terjamin kehidupan bagi masyarakat.
Al Qur’an menantang manusia untuk membuat yang serupa setidaknya dengan ketiga aspek di atas secara bersamaan. Mungkin bisa jadi ada orang yang bisa memilih kata-kata yang tepat (secara fonetik) untuk suatu makna tetapi apakah setelah disusun akan memiliki irama yang unik? Bisa jadi susunan katanya membentuk irama yang menarik tetapi apakah pilihan bunyi kata sudah bisa mewakili maknanya. Belum lagi susunan kata tersebut tetap harus memperhatikan ketepatan makna dari nilai-nilai yang hendak disampaikan.
Ada sebuah kisah yang tepat dan menarik untuk menjelaskan hal ini. Pada suatu hari, Amr bin Ash, yang saat itu belum masuk Islam, datang ke Yamamah untuk berdagang. Disana ia bertemu dengan musailamah. Musailamah bertanya, “Apa lagi surat yang turun kepada temanmu di Makkah?” Amr menjawab, “Ada sebuah surat pendek tapi luar biasa, surat pendek itu memiliki makna yang amat dalam.”
“Coba bacakan untukku”, tantang Musailamah. Lalu Amr bin Ash membacanya.
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. “
Musailamah terdiam sejenak lalu ia mengatakan, “Telah turun kepadaku surat seperti itu” (Saya akan tuliskan transliterasinya. Mohon maaf bila transliterasinya kurang baku.)
“Ya wabr, ya wabr, innama anta udzunani wa shadr, wasa’iruka hasrun nakr.”
Mendengar ayat tersebut spontan amr bin ash mengatakan “Wallah, innaka lakadzib! Demi Allah, kamu pasti berdusta!”
Mengapa Amr yang masih kafir bisa mengatakan itu? Karena isinya! Kurang lebih begini. “Hai kelinci, hai kelinci, sungguh tampak padamu dua telinga dan satu dada. Dan disekitar kamu terdapat dbanyak lubang bekas galian.”
Kita bisa melihat upaya Musailamah mengikuti irama dari al Qur’an mungkin ia berhasil tetapi ia gagal memilih makna yang hendak disampaikan.
Sisi Kandungan
Sisi kandungan al Qur’an setidaknya tersebut meliputi kabar kisah-kisah orang terdahulu, ramalan akan peristiwa yang akan datang, dan isyarat sebagian hukum alam yang tidak diketahui oleh manusia di saat turunnya al Qur’an.
Pemberitaan masa lalu misalnya tentang berita tengelam dan terselamatkannya jasad firaun. Seperti yang tertera pada ayat berikut
“Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak mempercayai kamu berdua.” (QS.Yunus:92)
Menurut Prof Dr Maurice Bucaille setelah meneliti mumi firaun mustahil mengetahui firaun tenggelam kecuali dengan pengetahuan modern. Bila dibandingkan dengan taurat ataupun injil yang menceritakan kisah ini tidak ada cerita tentang penyelamatan jasad firaun. Lalu dari mana Muhammad bisa mengetahui bahwa jasad firaun itu selamat.
Lalu mengenai ramalan peristiwa yang akan datang. Contoh yang cukup sering ditampilkan adalah tentang kekalahan Persia atas Romawi. Surat ar rum menceritakan kekalahan Romawi atas Persia dan berita kemenangannya beberapa tahun yang berikutnya.
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.” (TQS Ar Ruum: 1-5)
Terbukti tujuh tahun setelah kekalahannya, Romawi berhasil mengalahkan Persia. Dan menariknya pada saat yang sama, sesuai ayat di atas, kaum muslimin memenangkan perang badar.
Mengenai isyarat hukum alam ada contoh yang menarik dari buku pelajaran agama SMA kelas 3 yang masih saya ingat. Contoh ini sangat luar biasa. Alasannya jika dibanding dengan isyarat ilmiah lain, biasanya pengetahuannya masih berupa hipotesis artinya bisa benar bisa salah. Sedangkan pengetahuan ini tidak mungkin dibantah lagi. Perhatikan ayat berikut!
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut (????????): ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari’” (TQS An Naml: 18)
Ayat di atas menceritakan tentang seekor semut yang memberikan komando pada semut yang lain. Pada ayat ini digunakan kata ganti perempuan (muannats) untuk seekor semut tadi yaitunamlatun. Padahal mustahil pengetahuan 14 abad yang lampau menjelaskan bahwa pemimpin semut adalah ratu bukan raja!
Berbeda dengan sisi kebahasaan, kemukjizatan beberapa kandungan al Qur’an baru ditemukan kemudian. Hal ini akhirnya menimbulkan perdebatan apakan kandungan al Qur’an adalah mukjizat. Menurut Muhammad Husain Abdullah dalam Studi Dasar Pemikiran Islamsetidaknya ada dua alasan mengapa perkara-perkara ini ditolak sebagai mukjizat dari al Qur’an.
Pertama, mukjizat itu mesti menunjukkan kelemahan manusia. Artinya selama ada yang bisa membuat cerita yang sesuatu yang terjadi di masa lampau atau memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang atau menjelaskan sebagian hukum-hukum alam maka tentangan itu terpenuhi. Misalkan ada orang yang membuat sesuatu yang memuat ketiga hal ini yang belum terbukti saat ini. Ia bisa dengan simpel menyatakan bahwa belum terbukti tidak berarti salah.
Kedua, Kemukjizatan itu mesti ada di setiap surat dalam al Qur’an. Karena setiap surat dalam al Qur’an mengandung mukjizat. Al Qur’an menantang membuat satu surat saja artinya dalam satu surat harus ada kemukjizatannya. Sisi kandungan seperti cerita masa lampau tadi tidak ada pada setiap surat. Surat an nas misalnya tidak mengandung satupun dari ketiga hal tersebut.
Sebenarnya perkara-perkara yang dianggap sebagai mukjizat tersebut merupakan dalil atas ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Terlepas dari apakah sisi kandungan ini merupakan mukjizat atau bukan tetap patut kita renungkan sebagai bukti kebenaran al Qur’an.
http://irfanhabibie.com/2010/01/16/bagian-mana-dari-al-quran-yang-mukjizat/