Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa dua kualitas esensial dari seorang muslim adalah sabar dan syukur. Sabar bisa diparadigmakan sebagai kesyukuran dalam keadaan susah: mampu menyadari apa yang masih dimiliki dan mengakui dengan kata alhamdulillah. Begitu juga syukur dapat dipandang sebagai kesabaran dalam keadaan senang: mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak tercapai oleh keberhasilan dan bersikap qana’ah. Seorang muslim konsisten dalam keduanya, apapun yang terjadi pada hidupnya.
Al-Quran Surat Yusuf merupakan satu surat unik dimana di dalamnya fokus mengisahkan tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf ‘alayhissalam yang tidak ditemui pada surat-surat lain. Surat tersebut lengkap menceritakan bagaimana ia menempuh titik terendah dalam hidup hingga titik tertingginya.
Pada ekstrim bawah, Nabi Yusuf mengalami kondisi dikhianati (oleh orang dekatnya), diabaikan (terlantar dalam sumur), terasing, hidup sebagai budak (di keluarga pejabat), dicemari nama baiknya (dituduh berbuat serong), bahkan sampai dipenjara. Pada ekstrim atas, beliau berhasil memperoleh jabatan, berkumpul kembali dengan keluarga yang lama terpisah, pun tidak berlebihan jika dikatakan ia mencapai semua standar kesuksesan duniawi (kaya harta, bertahta, rupawan, serta cerdas). Segala perubahan drastis tersebut ternyata tidak mengubah konsistensi karakternya: ia tetap dikenal sebagai orang baik. Testimoni itu diberikan oleh teman sependeritaan di bui, ketika keadaannya terhina, “إِنّا نَراكَ مِنَ المُحسِنينَ” “sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang baik” (QS Yusuf 36). Pengakuan yang serupa diberikan oleh saudaranya (tanpa mengenalinya), saat posisinya berkuasa, “إِنّا نَراكَ مِنَ المُحسِنينَ” “sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang baik” (QS Yusuf 78).
Epilog dari kisah itu disimpulkan dalam do’a: “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian dari kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih” (QS Yusuf 101). Kalimat itu berisi pengakuan akan anugerah Rabb, bahwa kekuasaan dan ilmu itu hanya bagian dari absolut Rabb-nya. Apapun takdir yang dialami merupakan rencana baik dari Allah. Sepanjang perjalanan hidup, hal-hal telah terjadi, ada yang terambil, direnggut atau hilang, tatkala makhluk menjauh dan meninggalkan, namun Sang Khaliq selalu bersama hamba-Nya menjadi tempat bergantung. Tidak ada lagi yang harus diminta selain bertahan sebagai muslim hingga akhir hayat dengan mengikuti jalan kebajikan. Kebajikan di dunia tiada lain adalah ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik, dan amal yang diterima. Kesemuanya itu merupakan jalan bagi kebahagiaan di akhirat.
Ketika merasa situasi hidup menyempit; tengoklah kesulitan yang menimpa Nabi Yusuf. Apakah itu menjadi alasan untuk berhenti menjadi orang baik?! Saat episode hidup cemerlang; tiliklah kesuksesan yang diperoleh Nabi Yusuf. Apakah itu menjadi alasan untuk berhenti berbuat baik?!
Helmholtz-Zentrum Dresden-Rossendorf, 29 Ramadhan 1439H.