Al-Qur’an yang demikian compact merupakan karunia Allah yang memudahkan kita untuk menghafalnya. Meski ringkas, namun ia mencakup seluruh permasalahan kehidupan sesuai fungsinya sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia. Imam Syafi’i membutuhkan 4 hingga 5 jilid buku (yaitu karya fenomenal beliau: Al-Umm) untuk membahas perkara fiqh secara komprehensif. Bayangkan, jika Al-Qur’an setebal itu tentu akan merepotkan. Hebatnya lagi, hanya dengan jumlah halaman yang relatif sedikit, isinya sudah meliputi pokok keimanan, ibadah, syariat, muamalah, berita masa datang, dan kisah masa lalu.
Diantara hal yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah kisah kehidupan para nabi serta orang-orang shaleh dari umat terdahulu. Dari hanya sekitar 600 halaman redaksi Al-Qur’an, Allah ‘menyempatkan’ untuk membahas kisah. Itu berarti pada kisah tersebut terdapat pelajaran, keteladanan, dan manfaat yang dapat kita petik.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. [QS Yusuf (12) : 111]
Satu cerita yang diabadikan Al-Qur’an adalah tentang Luqman. Kisah dimana Luqman memberikan nasehat kepada anaknya. Sangat wajar bagi seorang ayah untuk memberi nasehat. Dan ini adalah suatu hal yang tulus karena tiada lain tujuan seorang ayah melainkan agar anaknya mendapat kebaikan. Sebuah gambaran pendidikan anak yang diajarkan oleh Al-Qur’an.
Ada beberapa versi mengenai identitas Luqman. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa beliau merupakan seorang yang taat, shaleh, dan bijaksana. Dialah orang yang telah dikaruniai Allah dengan berbagai keutamaan berupa kecerdasan, kedalaman pemahaman terhadap islam, sifat pendiam dan khusyuk, sarat makna dan hikmah dalam berkata, serta penuh kasih sayang. Inilah potret sosok ayah yang dicontohkan dalam Al-Qur’an.
Pertama-tama Luqman menyeru anaknya untuk tidak menyekutukan Allah. Tidak ada dosa yang lebih besar dan lebih buruk ketimbang dosa syirik.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. [QS Luqman (31) : 13]
Ayat ini menjadi isyarat bagi para ayah (atau semua pendidik) untuk menanamkan aqidah sejak dini di atas segala pengajaran. Hendaknya penanaman prinsip-prinsip iman dan Islam menjadi prioritas pendidikan anak.
Kemudian Allah memerintahkan untuk memenuhi hak orang tua dengan berbakti dan taat kepada mereka.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. [QS Luqman (31) : 14]
Perhatikan, setelah menyeru agar tidak mempersekutukan Allah, berikutnya adalah perintah untuk berbakti kepada orang tua. Ini jelas menunjukkan pentingnya hal tersebut.
Berulang kali di berbagai kesempatan, Al-Qur’an memberikan tuntunan untuk berbuat baik terhadap orang tua. Sebaliknya, jarang ditemui perintah untuk berbuat baik terhadap anak. Artinya, kasih sayang orang tua kepada anak adalah hal sudah pasti dan ada secara alamiah. Tidak perlu sengaja dibuktikan pun sudah terbukti dengan sendirinya. Maka tidak wajar apabila anak (yang dewasa) terus menuntut perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Justru semakin dewasa, seorang harus semakin ganti membuktikan cinta kepada orang tua. Di banyak kasus, sang anak durhaka kepada orang tua. Oleh karena itu Islam sangat mewanti-wanti agar menjadi orang yang berbakti kepada orang tua.
Lihatlah juga betapa adilnya ajaran agama. Peran ibu sangat ditekankan dengan mendeskripsikan jasa-jasanya. Bukan berarti peran ayah tidak penting. Namun biasanya, orang secara spontan akan langsung memahami peran ayah yang memang tampak jelas. Misalnya nasab jelas dihubungkan pada ayah. Perkara siapa yang menafkahi keluarga pun lumrahnya me-refer pada kepala keluarga. Belum lagi jika ditanya siapa yang bertanggung jawab terhadap tindak-tanduk anak, secara gamblang ayahnya akan ditunjuk.
Peran ibu yang kadang dilupakan saat orang dewasa, terus diungkit oleh Islam. Ayat 14 surat Luqman di atas menjadi salah satu contoh. Di sana digambarkan perjuangan sang ibu dalam mengandung dan menyusui. Seumur hidup, tidak akan pernah bisa seorang membalas setimpal jasa ibunya bahkan untuk sehembus nafas pun. Dialah orang yang paling berhak mendapat perlakuan baik dari kita.
Kemudian ayat ini menghimbau untuk bersyukur kepada pengarunia ni`mat yang primer, yaitu Allah, yang telah menganugerahkan segala limpahan-Nya serta rasa kasih sayang di hati makhluq-Nya. Dilanjutkan dengan anjuran berterima kasih kepada ibu dan bapak selaku pemberi ni`mat sekunder untuk kita. Seperti itulah urutan kewajiban. Pertama sekali kepada Allah, lalu setelah itu kepada orang tua.
Ayat ditutup dengan penerangan bahwa hakikat syukur itu adalah sebab segalanya akan kembali kepada Allah. Nanti di akhirat modal syukur saat di dunia akan berperan menyelamatkan kita. Tidak lepas dari itu, syukur akan menjadi penyebab bertambahnya ni`mat di dunia pula.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS Luqman (31) : 15]
Disini berlaku kaidah,
Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam bermaksiat kepada Khaliq (Allah).
Bakti tidak boleh mengalahkan aqidah. Meski begitu, hubungan manusiawi dan kekeluargaan harus tetap dipelihara. Teruslah menapaki jalan keimanan, jalan para nabi, shiddiqien, syuhada, dan orang-orang shaleh. Karena segala apa yang dikerjakan akan memperoleh balasan.
(Luqman berkata), “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [QS Luqman (31) : 16]
Nasihat dilanjutkan dengan penegasan tentang kekuasaan Allah yang mutlak dan adanya hari pembalasan. Perbuatan seseorang baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan, sekecil apapun, pasti akan Allah balas. Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pandangan Allah. Hal ini akan mengantar kepada perhatian atas segala tindakan kita. Oleh karena semuanya akan dipertanggungjawabkan. Diharapkan kita senantiasa mengejar niat/pikiran/perkataan/perbuatan baik dan menjaga dari yang buruk.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). [QS Luqman (31) : 17]
Coba amati urutan pendidikan yang digariskan ini. Pertama mengajarkan tauhid dan melarang syirik. Kemudian tentang hari akhirat dimana segala perbuatan akan diberi balasan. Pengajaran yang menyadarkan akan pengawasan Allah dan meletakkan harapan serta takut pada pertanggungjawaban dihadapan-Nya yang diselimuti kepercayaan akan keadilan-Nya. Diantaranya disisipkan redaksi dari Allah berupa perintah berbakti kepada orang tua.
Barulah selanjutnya dipaparkan kewajiban shalat sebagai ibadah fisik yang paling penting. Pendidik (ayah, ibu, atau guru) dituntut untuk mengajarkan shalat (begitu juga ibadah-ibadah ritual lain) kepada anak didiknya. Rasulullah mencontohkan untuk mengajari anak shalat sebelum si anak berumur 7 tahun. Setelah anak berumur 7 tahun mulailah ia diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Lalu setelah umur 10 tahun mulai diberlakukan sanksi (hukuman) jika anak meninggalkan shalat.
Yang diajarkan bukan semata ‘melaksanakan’ shalat, tapi ‘mendirikan’ shalat. Artinya melaksanakan dengan sinambung dan memenuhi hak-haknya (benar serta khusyuk) lalu mengaktualisasinya. Sehingga shalat tersebut dapat menjadi penolong dalam urusan serta pencegah dari kekejian dan kemungkaran.
Amar ma`ruf nahi munkar menjadi imbauan berikutnya. Demikian telitinya ungkapan ini. Bukankah untuk melakukan amar ma`ruf seorang dituntut untuk mengerti hal-hal yang ma`ruf (kebaikan)? Juga seorang harus mengetahui perkara-perkara yang munkar (keburukan) agar bisa ber-nahi munkar. Maka maksudnya juga mencakup agar mengajari anak didik tentang segala kebaikan serta menyadarkan tentang segala keburukan.
Sabar adalah kunci penting dari kedua hal di atas. Sabar dalam menjalani ‘beratnya’ ketaatan. Sabar dalam ‘lelahnya’ berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar) dimana rentan muncul ejekan dan perlawanan. Dan sabar dalam menghadapi segala ujian atau musibah yang diterima.
Kesemuanya itu merupakan perkara besar yang menuntut perhatian lebih. Tidak ada yang memperoleh taufiq untuk menjalankannya kecuali orang-orang yang bertekad baja.
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [QS Luqman (31) : 18-19]
Perihal akhlaq menutup rangkaian nasehat Luqman. Sombong -yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain- menjadi bahan sorotan. Janganlah seorang bersikap angkuh dan membanggakan diri. Hendaknya ia berlaku tawadhu’, tenang, serta sopan dalam berbicara.
Menjadi terang bagi kita bahwa anak memiliki hak yang harus dipenuhi oleh ayahnya. Sang ayah wajib memberikan nama yang bagus, ‘memilihkan’ ibu yang baik, mengajarkan Al-Qur’an, dan mendidiknya dengan adab.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.. [QS At-Tahrim (66) : 6]
Belajar dari kisah Luqman, dalam mendidik tentulah harus diawali dengan keteladanan. Tutur kata yang baik, bijak, dan indah disertai kecintaan dibutuhkan untuk dapat menguasai akal dan hati anak sehingga ia dapat dengan mudah menerima nasehat. Juga berikan pengajaran diawali dari hal-hal pokok (ushul) kemudian masuk hal-hal cabang (furu’).
Demikian. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari sekelumit kisah yang diabadikan oleh Al-Qur’an tersebut.
Allohu wa Rosuluhu a`lam.