Tarbiyah Syakhsiyah 2 – Mengapa Harus Satu Juz Setiap Hari?
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.
Marilah kita renungi terlebih dahulu, bagaimana Rasulullah mengajak para sahabatnya membaca Al-Qur’an, ditinjau dari masa atau waktu mengkhatamkannya. Kondisi ini sudah seharusnya menjadikan kita paham akan ashalah (orisinalitas) bagaimana salafus shalih dahulu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an. Rasulullah bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dalam sebulan, atau bacalah dalam dua puluh lima, bacalah dalam lima belas, bacalah dalam sepuluh, bacalah dalam tujuh. Tidak akan paham bagi yang membacanya dalam kurang dari tiga hari.” (HR. Ahmad). Dalam riwayat lain disebutkan, “Bacalah Al-Qur’an dalam empat puluh.” (HR. Abu Dawud).
Hal ini menunjukkan tidak mungkin seorang muslim mengatakan, “Yang penting saya membaca Al-Qur’an.” Adapun perkara kapan khatamnya itu tidak penting, yang penting paham, tadabbur, dan seterusnya. Sikap ini merupakan bentuk interaksi dengan Al-Qur’an yang belum sesuai dengan sunnah Nabi. Allah menurunkan Al-Qur’an kepada manusia agar menjadi sumber pembekalan diri (tazwid), peningkatan, dan penyegaran kualitas spiritual (maknawiyah) yang kontiniu, yang sekaligus konsep hidup mereka. Sehingga ketika sehari tidak membaca Al-Qur’an, terputuslah di hari itu sumber bekal dalam dirinya. Jika Al-Qur’an sudah tidak lagi membekali diri kita, maka diri kita akan “dibekali” oleh televisi, koran, majalah, informasi internet, dan masih banyak lainnya. Tentu hal rutinitas ini akan berdampak pada ringkihnya ruh, pemikiran, dan lemahnya pemahaman terhadap konsep perjuangn hidup sejati (menjadi hamba Rabbani).
Apa jadinya jika 3 unsur-unsur tersebut (ruh, pemikiran, dan pemahaman perjuangan) melemah dalam diri kita? Kita akan kehilangan semangat beramal shalih, berdakwah melayani umat dalam urusan agama dan kehidupannya, bahkan kita akan kehilangan daya tarik untuk menghadiri majlis-majlis taklim, semisal halaqah. Sekali lagi, karena kita telah kehilangan sumber energinya.
Selanjutnya bayangkan lebih jauh lagi, kalau proses tazwid telah terhenti sepekan, dua pekan, sebulan, dua bulan? Tidak terbayang lagi, betapa jauhnya diri kita dari Allah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang menjauhi Al-Qur’an seperti yang tergambar firman Allah berikut, “Berkatalah Rasul, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan.'” (al-Furqan [25]: 30).
Kendala kita sebenarnya hanya berputar dalam masalah lemahnya kemauan (‘azzam), bukan masalah fisik yang cacat, seperti lidah yang sakit atau mata yang sudah tidak melihat. Jadi masalah lemah semangat dapat didongkrak dengan meningkatkan wawasan kita terhadap urgensi ibadah satu juz ini, merespon aktif keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan amal riil, serta bergaul dengan orang-orang yang cinta Al-Qur’an dan sudah menikmatinya.
Jangan berlindung di balik kesibukan, anak, pekerjaan, bisnis, banyak acara, dan lain sebagainya. Karena sejatinya semua kesibukan kita tidak akan pernah terhenti kecuali kita mati. Lalu, apa jadinya jika sampai mati pun kita belum melakukan ibadah ini, karena halangan kesibukan yang memang tidak akan pernah terhenti.
Yakinlah bahwa Allah akan selalu memberi taufik dan hidayah kepada hamba-hamba-Nya yang selalu ingin berada dalam ketaatan kepada-Nya, khususnya dengan Al-Qur’an. Buktikan realita ini, ketika hidayah dan pertolongan itu mulai terasa dalam diri kita, sungguh akan kita rasakan betapa mudah dan ringannya jika sekadar setiap hari satu juz. Silahkan tanyakan kepada orang yang telah membuktikan dapat tilawah sehari satu juz. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajaran, dahulu para sahabat merasa terlalu lama jika harus selesai khatam Al-Qur’an sekali dalam satu bulan. Sampai mereka meminta izin kepada Rasulullah untuk dapat menyelesaikannya kurang dari satu bulan.
Mereka lakukan semua itu, karena nikmat mentadabburi Al-Qur’an yang sesungguhnya berbeda antar satu surat dengan surat berikutnya. Tepat sekali jika Rasulullah mengumpamakan Al-Qur’an seperti hidangan, maka sesungguhnya setiap surat di dalamnya bagaikan menu-menu makanan yang masing-masing memiliki kenikmatan-kenikmatan tersendiri.
Berusahalah melancarkan tilawah, jika tilawah kita termasuk yang belum lancar. Ukuran normal tilawah yang lancar adalah 30 sampai 40 menit saja untuk tilawah satu juz. Jika lebih dari itu berarti kita termasuk kategori belum lancar. Benar, Allah hanya minta waktu dari kita maksimal 40 menit untuk Al-Qur’an, dan barangkali sudah biasa kita berikan untuk waktu ngobrol, bersantai, nonton TV, bermain handphone, dan lainnya. Jadi yang membuat kita belum bisa, sesungguhnya hanyalah keimanan yang belum cukup untuk ibadah tilawah ini, bukan karena sempit atau tidak adanya waktu. Perbanyaklah amal shalih, pasalnya satu amal shalih yang kita lakukan akan melahirkan semangat membaca Al-Qur’an, sebagaimana satu maksiat akan menjauhkan kita darinya, bahkan dapat kehilangan minat bersama Al-Qur’an, jika kita tidak segera bertaubat.
Di antara kendala yang harus diwaspadai adalah: Tidak memiliki waktu wajib tilawah Al-Qur’an. Misalnya setiap ba’da maghrib harus membaca Al-Qur’an. Namun kebanyakan orang alokasinya adalah terbiasa dengan membaca Al-Qur’an hanya menunggu saat senggang, atau waktu sisa, dan tidak ada waktu khusus. Terbawa oleh lingkungan sekelilingnya yang tidak melihat pentingnya tilawah satu juz tiap hari. Oleh karena itu bergaulah dengan orang yang cinta Al-Qur’an. Rasulullah bersabda, “Kualitas agama setiap orang tergantung dengan siapa teman akrabnya.” Tidak tertarik untuk menghadiri majlis-majlis yang menghidupkan Al-Qur’an. Padahal Rasulullah telah merekomendasikan agar setiap orang beriman terlibat hadir dalam majlis pengajaran Al-Qur’an. Rasulullah bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, dan di antara mereka membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dan mengkajinya, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan jiwa, diliputi rahmat, dinaungi malaikat dan disebut-sebut namanya (dibanggakan) oleh Allah di depan para malaikatnya.” (HR. Muslim)
Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu mencintai Kitab Suci-Nya, agar kita mendapatkan syafaat dari Al-Qur’an di akhirat kelak.