Tarbiyah Syakhsiyah 5 – Langkah-Langkah Menjadi Ahlul Qur’an
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.
Agar cakrawala hidup di bawah naungan Al-Qur’an terbuka dengan luas dalam diri kita, maka persiapan yang paling utama adalah mempersiapkan kebersihan hati dari segala yang mengotorinya, seperti kotoran syirik, maksiat dan akhlak yang tercela, seperti dengki dan iri hati. “Andaikan hati itu suci, maka ia tidak akan pernah kenyang dari Al-Qur’an (selalu merindukan).”
Tuntutan persiapan kesucian hati merupakan bentuk penyesuaian dengan Al-Qur’an itu sendiri; diturunkan dari Zat Yang Maha Suci, dibawa oleh malaikat yang suci dan diberikan kepada hamba-Nya yang suci, Rasulullah. Oleh karena itu, kita pun harus berusaha menjadi pecinta Al-Qur’an yang suci. Sebaliknya, ketika Al-Qur’an belum juga membuat hati khusyuk, maka ini indikasi adanya kemaksiatan atau kebodohan yang telah lama menutupi hati kita. Karena itu Allah mengecam hamba-Nya yang belum dapat khusyuk oleh Al-Qur’an.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid [57]: 16)
Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa ayat ini merupakan kecaman terhadap orang-orang mukmin yang tidak kunjung khusyuk bersama Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud ra. menambahkan, “Setelah empat tahun hati kami tidak kunjung khusyuk bersama Al-Qur’an, maka turunlah ayat kecaman ini.” Maka sudah seharusnya ayat di atas memberi motivasi kepada kita untuk dapat berinteraksi dengan Al-Qur’an atas dasar khusyuk dan tunduk kepada Allah, malu akan banyaknya kesalahan dan kekurangan diri dalam memenuhi hak-hak-Nya. Pasalnya saat rasa khusyuk bersama Al-Qur’an yang sudah benar tertanam dalam jiwa orang yang beriman, maka akan menghasilkan keyakinan pada tiga tujuan pokok misi diturunkannya Al-Qur’an, yaitu: 1) Agar selalu dibaca sebagai bentuk ibadah dalam upaya berzikir dan mendekatkan diri kepada Allah; 2) Agar dijadikan sebagai sumber hukum dan syari’at dalam menjalankan kehidupan; 3) Agar diajarkan dan dijadikan sebagai pembersih jiwa, sehingga tehindar dari kehidupan yang sesat.
Marilah kita renungi tulisan Imam al-Ghazali, yang telah menyimpulkan usaha yang telah dilakukan oleh salafus shalih, yang menjadikan mereka mampu meraih kehidupan bersama Al-Qur’an yang sangat fantastis. Adapun proses usaha tersebut adalah sebagai berikut:
Memahami hakikat Kalam Allah (Fahmu `asli Al-Kalam). Langkah ini sangat penting sebagai langkah awal merasakan keagungan Al-Qur’an. Dalam arti, bagaimana mungkin kita akan merasakan betapa mahalnya suatu benda, emas misalnya, jika kita tidak mengetahui nilai dan harga emas. Oleh karena itu Allah mengecam manusia yang tidak berusaha memahami Al-Qur’an. Di dalam surat al-Baqarah [2] : 78, disebut sebagai manusia yang buta huruf, dan pada surat al-Jumu’ah [62] : 5, disebut sebagai keledai yang tidak akan pernah sadar dengan nilai benda yang ada di punggungnya. Jika dipahami dengan baik hakikat Al-Qur’an sesuai dengan kedudukannya, isinya dan fungsinya, mustahil manusia menjauhi Al-Qur’an; tapi sebaliknya pasti akan memanfaatkanya dengan sebaik-baiknya.
Merasakan keagungan Al-Qur’an (at-Ta’zhim). Perasaan mengagungkan Al-Qur’an adalah sebagai dampak makrifah seorang hamba kepada Allah sebagai Sang Khaliq dan Penguasa alam semesta. Oleh karena itu mengenal Allah mutlak harus dibangun sebelum berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sarananya adalah dengan mengkaji Al-Qur’an, as-Sunnah, dan bertafakkur terhadap alam semesta. Karena kemampuan mengagungkan Al-Mutakallim (Yang Berfirman, Allah) akan menghasilkan pengagungan terhadap kalam-Nya.
Melibatkan hati saat bersama Al-Qur’an (Hudhur al-Qalb). Melibatkan hati artinya memfokuskan hati hanya untuk Al-Qur’an dan melepaskan segala perasaan lain yang menjadikan hati tersibukkan oleh selain Al-Qur’an seperti urusan dunia. Oleh karena itu generasi terdahulu (salafus shalih) saat membaca Al-Qur’an, jika terasa hambar saat membaca suatu ayat, mereka mengulang-ulangnya sampai hatinya merasakan benar apa yang dipesankan oleh Allah dalam ayat tersebut.
Merenungi dan menghayati ayat-ayat-Nya (at-Tadabbur). Mentadabburi berarti berupaya memahami pesan-pesan yang terkandung dalam ayat yang sedang kita baca atau kita dengar, sehingga akan terasa luasnya makna dan keagungan satu ayat yang difirmankan oleh Allah. Inilah rahasia mengapa Rasulullah sering mengulang-ulang satu ayat sampai berpuluh-puluh kali, karena saat itu Rasulullah sedang mentadabburi satu ayat dan merasakan luasnya pesan-pesan Al-Qur’an.
Segera menyadari jika tidak paham suatu ayat, dan segera memahami (at-Tafahhum). At-Tafahhum bisa terkait dengan kalimat, ayat atau tafsir dari ayat yang sedang kita baca. Berkomitmen dengan cara ini sepanjang kita berinteraksi dengan Al-Qur’an -insya Allah- akan menjadikan kita memahami seluruh kandungan Al-Qur’an.
Membersihkan diri dari faktor-faktor penghalang memahami Al-Qur’an (At-Takhalli ‘an Mawani’ al-Fahm). Kemaksiatan, sedikit beramal shalih, cinta dunia secara berlebihan dan malas mempelajari bahasa Arab, adalah di antara faktor yang dapat menyebabkan kita tercegah dari semangat memahami Al-Qur’an. Memahami Al-Qur’an terdiri dari pemahaman yang bersumber dari akal dan hati. Pemahaman dari dua unsur ini akan menghasilkan hidayah yang terus berkembang dalam diri manusia. Abu Jahal sebenarnya sangat paham kalimat-kalimat Al-Qur’an, namun karena hanya pemahaman yang bersumber dari akal, maka tidak menghasilkan hidayah dan cahaya dari Allah. Sebaliknya para sahabat, mereka bisa berprestasi dalam segala bidang kehidupan mereka, hal ini tidak terlepas dari pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an yang didasari oleh akal dan hati mereka.
Merasakan bahwa pesan ayat yang dibaca dikhususkan untuk dirinya (at-Takhshish). Muhammad bin Ka’ab al-Quradzi mengatakan, “Siapa yang sampai kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah sedang menasihatinya.” Ulama yang lain mengatakan, “Al-Qur’an bagaikan surat yang datang dari Allah. Kami tadabburi Al-Qur’an di waktu shalat dan mengkajinya pada waktu luang, serta mengamalkannya dalam ketaatan.” Dengan at-Takhshish setiap kali kita membaca ayat, maka kita harus merasakan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah diri kita, walaupun ayat tersebut lafazhnya umum, seperti “Wahai orang-orang yang beriman,” maka sejatinya diri kitalah yang dimaksud.
Berusaha reaktif sesuai dengan kandungan ayatnya (at-Ta’atsur). Seorang pembaca Al-Qur’an harus dapat merasakan perasaan yang berbeda-beda sesuai kandungan ayat yang sedang dibaca. Misalnya, ketika ayat dibaca Allah memerintahkan beribadah, bersujud, berinfak dan seterusnya, maka ia harus dapat membuat kita langsung bereaksi, mengikuti kandungan ayat yang kita baca.
Berusaha merasakan peningkatan ruhnya lebih dekat bersama Allah (at-Taraqqi). Pantaslah jika membaca Al-Qur’an disebut sebagai bentuk zikir kepada Allah yang terbaik.
Tidak merasa diri sebagai manusia yang paling suci (at-Tabarri). Adalah Abdullah bin Umar bin Khathab ra. ketika membaca ayat-ayat yang menjelaskan sifat manusia yang negatif seperti Zhalumun Kaffar (Ibrahim [14] : 34), ia segera banyak beristighfar, “Ya Allah aku mohon ampun kepada-Mu dari kezaliman dan kekufuranku.” Orang sekelas Abdullah bin Umar pun merasakan perasaan tersebut, maka tipe seperti kita seharusnya lebih merasakan seperti ia rasakan. Tidak adanya perasaan tabarri dalam diri kita akan menjadikan kita tidak utuh dalam merasakan sentuhan-sentuhan Al-Qur’an.
Itulah sepuluh kiat agar kita benar-benar menjadi shahib Al-Qur’an. Dengan sepuluh kiat ini insya Allah semua bentuk interaksi dengan Al-Qur’an, seperti pemahaman, tilawah, tahfizh, tadabbur dan pengamalannya akan dapat kita laksanakan secara bersamaan. Semoga Allah merahmati Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana hidup dengan Al-Qur’an sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya.