Pasca wafatnya khalifah Abu Bakar ra, mushhaf Ash-Shiddiqiyyah beralih ke tangan `Umar bin Khaththab ra sebagai khalifah kaum muslimin yang baru selama sepuluh tahun kepemimpinan beliau. Kemudian setelah `Umar ra meninggal dunia, mushhaf tersebut disimpan oleh putrinya, Hafshah ra, ummul mukminin, istri Rasulullah saw. Ketika `Utsman bin `Affan ra menjadi khalifah, beliau tidak serta merta mengambil alih kepemilikan mushhaf. Sebagaimana diketahui bahwa `Utsman ra memiliki sifat haya’ (malu), sehingga dapat dimengerti jika beliau mendahulukan respek ketimbang memerintahkan kepada Hafshah ra untuk menyerahkan mushhaf kepadanya sebagai khalifah yang baru. `Utsman ra memberikan kepercayaan kepada Hafshah ra dengan statusnya sebagai putri `Umar ra serta istri Nabi saw. Mushhaf berada di tangan terpercaya dan tidak perlu dikhawatirkan.
Pada masa kekhilafahan `Utsman ra, Islam meluas hingga Russia (kini) sampai Armenia dan Azerbaijan. Di daerah tersebut bertemu dua pasukan besar kaum muslimin: pasukan Iraq yang mana mereka membaca Al-Qur’an dengan qiro’at seorang sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas`ud ra; dan pasukan dari Syam yang membaca dengan qiro’at Abu Darda’ ra. Diantara kedua pasukan itu saling mendengar bacaan Al-Qur’an satu sama lain. Salah seorang pasukan membaca, “وأتموا الحج والعمرة للبيت” kemudian yang lain berkata, “Bukan seperti itu. Tapi seperti ini: وَاَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ” (Al-Baqarah: 196) saling membantah dan berselisih hingga mendekati perkelahian. Sengketa itu diketahui oleh seorang sahabat kepercayaan Rasulullah saw, yang menyimpan rahasia nama-nama orang munafiq di masa nabi, Hudzaifah bin Yaman ra, yang pada satu kesempatan pernah berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, adapun aku bertanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya.” Terlihat bagaimana jauhnya pandangan Hudzaifah ra melebihi yang lain.
Hudzaifah ra melihat bagaimana berselisihnya pasukan tersebut hingga saling mengaku, “Bacaanku lebih shahih daripada bacaanmu.” Kemudian beliau kembali ke madinah dan menyampaikan kejadian itu serta kekhawatirannya kepada khalifah `Utsman bin `Affan ra, “Cegahlah umat ini sebelum mereka menyelisihi kitabnya sebagaimana Yahudi dan Nashrani berselisih.” `Utsman ra menghadapi situasi dimana di kalangan umat tersebar Al-Qur’an, ada yang bacaannya terdokumentasi, dan ada yang dipertanyakan. Maka `Utsman ra bertindak untuk mengembalikan kaum muslimin kepada nash yang benar, yaitu nash yang tertulis pada mushhaf ash-shiddiqiyah berupa salinan dari manuskrip yang ditulis di hadapan Rasulullah. Tentang perdebatan ayat tersebut, pada mushhaf tertulis (لله) dan bukannya (للبيت); maka yang shahih adalah (لله) dan bukannya (للبيت). Maka bagi yang membaca (للبيت) itu menyelisihi nash asli yang tertulis. Permasalahan ini terjadi pada perorangan. Namun bagaimana imbasnya jika terjadi pada seluruh umat?!
Allah telah memberi petunjuk kepada para khalifah. Dalam hal ini Rasulullah saw pun pernah bersabda, “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk setelahku. Gigitlah petunjuk itu dengan gerahammu.” Khalifah `Utsman ra kemudian kembali memanggil seorang Zaid bin Tsabit ra. Seperti telah dibahas, Zaid ra adalah penulis Al-Qur’an di masa Rasulullah saw, kemudian menulisnya lagi di masa Abu Bakar ra, lalu kembali mendapat tugas yang sama di hadapan `Utsman ra.
Karena kini halnya menjadi urgen, `Utsman menghubungi Hafshah ra dan meminta dikirimi mushhaf untuk kemudian nantinya akan dikembalikan lagi. Maka Hafshah ra mengirim mushhaf utuh Al-Qur’an lengkap tertulis. Lalu dibentuklah komite yang terdiri dari orang-orang Quraisy, dikarenakan Quraisy merupakan arab yang paling fasih serta di antara mereka adalah para penulis. Komite tersebut dipimpin langsung oleh Zaid bin Tsabit ra. Inilah fasa baru dalam sekian tahapan penulisan Al-Qur’an. Komite tersebut bertugas untuk menyalin mushhaf ash-shiddiqi, yang ditulis oleh Zaid ra di masa Abu Bakar ra, menjadi beberapa salinan. Di bawah pimpinan Zaid ra, mulailah komite ini membuat salinan demi salinan sejumlah yang diperintahkan oleh Khalifah `Utsman ra. Semua salinan itu persis seperti aslinya, huruf dan kalimatnya, merujuk kepada mushhaf ash-shiddiqi yang berasal dari tulisan di hadapan Rasulullah saw.
Mushhaf-mushhaf yang baru tersebut dikirimkan ke berbagai wilayah besar. Inilah tahap ketiga. Mushhaf itu ditujukan guna menjadi pedoman dalam menulis Al-Qur’an. Satu salinan masing-masing dikirimkan ke Kufah, Bashrah, Syam, dan Makkah. Adapun untuk Madinah disisakan dua salinan, satu untuk kaum muslimin di kota itu, dan satu lagi disimpan oleh khalifah. Dan ada yang meriwayatkan bahwa salinan juga dikirimkan ke Yaman dan Bahrain (di masa itu Bahrain adalah daerah sepanjang pesisir timur jazirah Arab yang kini wilayah itu termasuk juga Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar). Maka dikatakan kepada kaum di wilayah itu untuk melihat mushhaf yang dikirimkan. Jika cocok dengan tulisan Al-Qur’an yang ada padanya, biarkan; namun jika ada yang berbeda maka buanglah (bakar) dan rujuklah kepada mushhaf dari khalifah `Utsman ra. Catat bahwa `Utsman ra tidak mengada-adakan sesuatu yang baru. Semua yang dilakukan beliau adalah membawa umat kepada nash asli yang ditulis di masa Ash-Shiddiq. Adapun perintah membakar mushhaf yang menyelisihi adalah bentuk penghormatan terhadap kalimat-kalimat Allah yang tercantum diantaranya agar tidak dibuang bersama sampah-sampah lain.
Akhirnya, setelah hadir mushhaf referensi kiriman khalifah, masuklah ke tahapan selanjutnya yaitu penulisan salinan besar-besaran sehingga mushhaf Al-Qur’an tersebar luas di negeri-negeri kaum muslimin. Segala puji bagi Allah, karena semua mushhaf itu shahih, tidak ada tempat bagi tambahan dan tidak ada pengurangan satu huruf pun.
Perhatian kaum muslimin kepada kitab Rabb-nya seakan tiada batas, walaupun telah tersebar luas dengan jumlah yang tak terhitung. Para ulama berkata, apa yang tertulis di mushhaf yang mana tulisannya itu merujuk kepada tulisan yang dibuat di hadapan Rasulullah saw dan telah mengalami beberapa tahap salinan, mengandung dua hal pokok. Pertama, yang bentuk tulisannya sama dengan tulisan umumnya (imla’); kedua, yang bentuk tulisannya berbeda dari tulisan umumnya di beberapa segi, atau memiliki tambahan huruf. Contoh, kata (الحَمْدُ) dari ayat “الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَـٰلَمِينَ” (Al-Fatihah: 2) adalah sama antara yang tertulis di mushhaf dengan tulisan biasa pada umumnya. Bagitu juga halnya dengan kata (لله) dan (رب). Adapun kata (العَـٰلَمِينَ) pada imla’ (tulisan umum) ditulis dengan alif mad tegak setelah huruf `ain: (العالمين), namun ianya ditulis di hadapan Rasulullah saw berupa (العَـٰلَمِينَ) tanpa alif yang memanjang. Adapula yang tertulis dengan cara tertentu yang berbeda dengan cara membacanya, seperti kata (الصَّلَوٰة) yang ditulis dengan waw namun dibaca dengan alif. Adapun ditulis waw adalah dengan hikmah Allah yang mengetahuinya. Para ulama kemudian mengumpulkan bagian-bagian yang pada mushhaf ditulis berbeda dengan apa yang biasa ditulis secara umumnya hingga muncullah disiplin ilmu baru yang direpresentasikan dalam kitab-kitab rasm mashahif. Dari situ dirumuskan kaidah-kaidah penulisan mushhaf yang mana terdapat perbedaan cara penulisan dengan imla’ umumnya. Misalnya, bab tentang alif yang dibuang, membahas tentang kata-kata yang menghilangkan alif seperti pada ayat “مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Al-Fatihah: 4) tidak ditulis dengan alif seperti (مالك) sebagaimana ia dibaca. Contoh lain pada ayat “ذلِكَ الْكِتَـٰبُ” (Al-Baqarah: 2) juga tidak ditulis dengan alif. Ada pula, bab tentang alif tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan alif seperti pada (قَالُواْ) di akhir katanya, dan dinamai alif tafriq yang ditulis namun tidak dilafalkan. Bab tentang waw tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan waw seperti pada (أُوْلـٰئِكَ) tertulis waw akan tetapi tidak dilafazkan. Contoh lain pada ayat “أُولِي الأيْدِي والأبصَـٰرِ” (Shad: 45) waw pada kata (أُولِي) ditulis tapi tidak diucapkan. Bagitu pula halnya dengan bab tentang ya’ tambahan, serta sebaliknya bab tentang ya’ yang dibuang. Kemudian bab tentang yang ditulis berpisah (أَن َّلا), sebaliknya juga bab tentang yang ditulis bersambung (أَلاَّ). Bab tentang yang ditulis dengan ta’ mabsuthah seperti pada kata (رَحْمَت) yang di beberapa bagian dalam mushhaf ditulis dengan ta’ mabsuthah; dan di bagian-bagian lain ditulis dengan ta’ marbuthah. Kesemua hal itu (beserta perkara lainnya) masuk dalam pembahasan ulama. Demikianlah penjagaan dalam bantuk kaidah-kaidah penulisan. Hal ini dikarenakan mushhaf asli di masa `Utsman ra bisa saja lapuk karena masa, terbakar, atau hilang, atau karena peperangan. Kekhawatiran itupun terjadi. Sebagian mushhaf musnah karena terbakar, dan sebagian karena hal lainnya. Namun, nash Al-Qur’an tetap lestari dengan rahmat Allah terjaga hingga zaman kita. Maka dari itu, mushhaf yang ada pada masa kini wajib kita akui sebagai yang terjamin keshahihahnnya. Demi Allah, isinya sama dengan apa yang ditulis di hadapan Rasulullah pada tahap penulisan yang paling awal. Tidak ada tambahan huruf; tidak ada pengurangan huruf; tidak ada buatan `Utsman ra sedikitpun. Adapun penamaan mushhaf `utsmani atau rasm `utsmani adalah sebagai konotasi, bukan hakikat.
Rasm `utsmani berarti rasm (penulisan) yang disebarkan dimasa `Utsman ra, dan bukan rasm yang dibuat `Utsman ra. Ada beberapa kitab yang membahas tentang ini dan mengambil kesimpulan yang berbeda. Persepsi itu tidaklah shahih. `Utsman ra tidak melakukan apapun kecuali membuat salinan mushhaf ash-shiddiqiyah. Adapun tentang pendapat-pendapat yang berkata lain, maka itu semua tanpa dalil. Dengan demikian, sampai kepada kita mushhaf tertulis yang (jism-nya: bentuk huruf-per-huruf) murni tanpa pengurangan maupun tambahan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41) Kata `aziz (yang mulia) dalam arti bahasa ialah tercegah dari apa-apa yang ingin mendekatinya. Jika dikatakan, “فلان عزيز في قومه” yakni bermakna ia dijaga sehingga kaumnya tidak bisa meraihnya. Kalimat “وَإِنَّهُ لَكِتَـٰبٌ عَزِيزٌ” yakni berarti tidak mungkin bisa didekati oleh pengubahan atau penyelewengan. “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42). Semua kata dengan penulisan rasm `utsmani telah ditulis dengan hikmah yang mungkin saja sebagainnya tidak bisa dimengerti oleh kita. Begitulah Al-Qur’an adalah keajaiban yang tidak pernah habis. Maka siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an ditulis setelah zaman Muhammad saw hendaknya memberi bukti. Adapun perkataan-perkataan tanpa dalil, maka tidak ada pendirian dalam hal itu.
(bersambung insya Allah)