Kemarin malam saya bersama dua teman datang ke satu komplek perumahan untuk mengisi tarawih dan ceramah disana. Ketika sampai, belum masuk waktu Isya’, jadi kami duduk-duduk di teras sambil menunggu. Waktu itu ada sebuah mobil datang (di dalam hanya ada pengemudinya, lelaki) lalu seorang wanita keluar dari sebuah rumah, masuk mobil, dan pergi berdua.
Seorang teman bilang, “Eh, bukannya tarawih malah pacaran.”
Teman yang lain menjawab, “Husnuzhon aja, barangkali mereka mau tarawih di masjid lain, itu lelakinya jemput si perempuan.”
Saya berpendapat, “Loh, kalau mereka bukan mahram, itu kan khalwat di mobil jadinya.”
Apapun itu, wAllohu a`lam, mungkin tujuannya baik, mau mengantar tarawih (perhaps), ya tapi tetep aja masuk ke larangan khalwat. Niat baik tidak bisa membenarkan perbuatan yang caranya salah. Malah satu (yang nyopir) dapet keburukan (di sisi Allah), yang lain (yang numpang) juga dapet keburukan. Hal yang dianggap baik, sebenarnya dimurkai Allah. Maksudnya menolong, tapi justru menjerumuskan.
Khalwat (makani) artinya berdua di satu tempat dimana tidak ada orang lain. Dalam hal ini, mobil dinilai sama dengan tempat, walaupun si pria (atau wanita) sedang mengemudikan mobil. Ini kebanyakan tidak disadari, padahal juga termasuk menghadapi larangan:
“Janganlah salah seorang lelaki diantara kamu berkhalwat dengan perempuan
kecuali dengan mahramnya.” (HR Bukhari – Muslim)
Ungkapan itu berbentuk umum, tanpa pengecualian, mau itu bisa menjaga pandangan kek, ataukah tanpa disertai syahwat, sama saja. Pelarangannya tetap berlaku sebagaimana juga hukum haramnya. Khalwat juga tetap haram hukumnya walaupun bersama orang yang dipercaya, baik, dan sholeh sekalipun. Khalwat bertentangan dengan syari`at meski dengan dalih silaturrahim. Meremehkan khalwat berarti menyepelekan syari`at.
Bagaimana jika ada kebutuhan (hajat) atau terpaksa (darurat)? Misal masjidnya itu jauh, si perempuan tidak tau jalan, tidak ada teman wanita lain/mahram, dan kalau sendirian dikhawatirkan keamanannya.
Kaidahnya, darurat itu kan diukur kondisinya, dan jangan dibuat-buat. Kalau situasinya darurat, harus mengantar, ajaklah orang ketiga, atau gunakan transportasi umum di tempat khalayak, dengan tetap menjaga adab interaksi pria-wanita tentunya. Repot tapi ‘selamat’ jelas dipilih daripada praktis tapi berdosa. Rasulullah pernah didatangi seorang wanita yang ingin berbicara tentang suatu masalah, kemudian Beliau menyuruh wanita itu mencari dan menunggu di jalan ramai yang banyak orang, lalu Beliau dan wanita itu bertemu disana.
Bagaimana jika kadarnya benar-benar darurat, tidak ada teman lain, tidak ada transportasi umum, tidak ada waktu alternatif? Sekali lagi, jangan dibuat-buat. Lihat sisi hukum syar`i-nya. Dalam kasus tersebut, tarawih itu sunnah, sedangkan khalwat itu haram. Tidak boleh mencari yang sunnah dengan melanggar yang haram. Menolak mafsadat didahulukan ketimbang mencari manfaat.
Bagaimana jika bertiga?
1. Orang ketiganya mahram. Artinya, kalau orang ketiganya itu wanita, dia merupakan mahram atau istri dari lelaki yg disana. Jika orang ketiganya itu lelaki, ia merupakan mahram atau suami dari wanita yang disana. Untuk kasus ini semua sepakat menghilangkan status dan larangan khalwat.
2. Orang ketiganya bukan mahram. Artinya, orang ketiga itu juga tergolong orang ajnabi/asing, yang tidak ada hubungan mahram dengan salah satu dari pria atau wanita (walaupun dia teman). Untuk kasus ini, pendapat kalangan Syafi`iyyah tetap melarangnya.
3. Orang ketiganya bukan mahram, tetapi merupakan orang tsiqah/terpercaya baik dari segi kebaikan agamanya maupun sisi kebaikan hubungan kerabat (tapi bukan mahram) atau silaturrahim/persahabatan dengan salah satu atau kedua pihak. Untuk kasus ini, pendapat sebagian kalangan Syafi`iyyah membolehkannya.
4. Adanya orang ketiga menjadikannya boleh. Ini pendapat Hanafiyyah.
Nastaghfirullah,
Allahu wa Rasuluhu a`lam.