Dalam berislam, dikenal adanya tingkatan-tingkatan. Setiap orang akan memperoleh konsekuensi sesuai tingkatannya secara adil dengan ukuran ke-MahaBijaksana-an Allah.
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. [QS Ali-Imran (3) : 163]
Seorang `alim yang melakukan kesalahan sengaja padahal ia tahu bahwa hal itu salah, tentu saja balasan dosanya akan berbeda dengan seorang awam yang melakukan kesalahan sama tetapi ia tidak tahu (secara ilmu) bahwa hal itu salah.
Adapula masalah tahap dalam ajaran tauhid ini, yaitu: Islam, Iman, dan Ihsan.
Orang-orang Arab Badui itu berkata, “kami telah beriman”. Katakanlah, “kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…” [QS Al-Hujurat (49) : 14]
Pada perkara penghambaan, dirumuskan level Ibadah, Ubudiyyah, dan Abuda.
Terminologi Ibadah ditujukan pada seseorang yang menganggap aktivitas ritual / ajaran agama (misal: shalat) sebagai ‘kewajiban’. Cirinya antara lain masih terdapat unsur keterpaksaan, berat melakukan, serta merasa lega setelah menyelesaikannya.
Bentukan Ubudiyyah diasosiasikan pada seseorang yang menjalankan ajaran agama sebagai kebiasaan / habit. Cirinya adalah segala aktivitas agama sudah secara otomatis dilakukan (misalnya terbiasa rutin bangun pada akhir malam untuk qiyamullail).
Istilah Abuda dialamatkan pada seseorang yang melaksanakan ajaran agama sebagai kebutuhan. Cirinya adalah merasa nyaman saat mengerjakan serta memperoleh kenikmatan pada aktivitas-aktivitas keagamaan.
Jika ditengok, shaum (puasa) pun memiliki tingkatan-tingkatan. Al-Ghazali membaginya menjadi: Puasa `Am (umum), Puasa Khosh (khusus), serta Puasa Khushushul-Khushush (khusus dari yang khusus). Sementara –dengan maksud yang sama- ulama ahli irfan menyebutnya: Puasa Ahli Syari`at, Puasa Ahli Thoriqot, dan Puasa Ahli Haqiqat.
Puasa `Am adalah puasa menahan diri dari hal-hal yang membatalkan secara syar`i berupa: (kita ambil yang semua madzhab fiqh sepakat padanya) makan, minum, dan jima`.
Puasa Khosh, selain menahan makan-minum-jima`, juga mencakup pengendalian panca indra lahir dari kemaksiatan. Misalkan menahan mata dari melihat yang haram, menahan telinga dari mendengar ghibah, menahan lidah dari dusta, serta menahan kulit (rabaan) dari menyentuh yang dilarang (lawan jenis yang bukan mahram dan belum halal).
Sedangkan Puasa Khushushul-Khushush, selain seperti Puasa Khosh, juga ditambah meliputi pengendalian indra batin (pikiran dan hati) dari hal yang sia-sia (yang melenakan dari ketaatan) apalagi hal yang maksiat.
Momen Romadhon ini dapat dijadikan introspeksi dan evaluasi. Level shaum yang mana yang sedang kita jalani?
Mungkin hasil yang diraih seorang shaum (yang berpuasa) hanya lapar dan haus… [HR Ahmad]
Dan sudah sampai mana derajat keberagamaan kita?
Dan masing-masing orang memperoleh derajat sesuai dengan apa yang dikerjakannya… [QS Al-An`am (6) : 132]